Minggu, 29 Juli 2012

Bantahan Terhadap Pluralisme Agama

BANTAHAN TERHADAP PLURALISME AGAMA (TEORI PEMBAURAN ISLAM DENGAN AGAMA LAIN) Oleh: Abu Luqman Pembaca yang budiman, dewasa ini muncul banyak pertanyaan di kalangan umat Islam tentang pluralisme agama. Sebenarnya teori ini sudah lama muncul, hanya saja saat ini pluralisme agama menjelma menjadi sebuah paham yang begitu cepat menyebar dan semakin populer di semua lapisan masyarakat. Terlebih lagi, banyak orang yang dianggap sebagai cendekiawan muslim secara terang-terangan membenarkan dan menyeru kepada teori tersebut. Sampai-sampai sebagian dari mereka mendapat predikat sebagai bapak pluralisme agama. Ditambah lagi, munculnya ide gila untuk mencetak Al-Qur`an, Injil dan Taurat dalam satu buku. Bahkan, proyek pembauran agama ini sampai pada ide pembangunan masjid, gereja, sinagog, dan tempat ibadah lain dalam satu lokasi, baik di kampus-kampus, bandara, atau tempat umum lainnya. Semua fenomena ini membuat masyarakat semakin larut dalam kebingungan, sejauh mana kebenaran slogan-slogan konsep pemikiran ini dan bagaimana penilaian Islam terhadap hal ini? Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. Rangkaian Sejarah Munculnya Teori Pluralisme Beragama Dan Beberapa Analisis Kejadiannya Jikalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, maka virus pluralisme agama ini muncul dari orang-orang Yahudi dan Kristen. Teori ini termasuk teori lama jika ditinjau dari slogan-slogannya yang berupaya mengeluarkan kaum muslimin dari identitas keislamannya dan menggiring mereka kepada kemurtadan. Dengan menelusuri fase-fase sejarahnya, maka kita akan mendapatkan bahwa teori ini telah berjalan pada empat periode zaman, yaitu sebagai berikut : 1. Periode zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah subhanahu wa ta’ala telah menerangkan dalam Al-Qur`an bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen senantiasa berusaha menjauhkan kaum muslimin dari keislamannya dan mengajak mereka kepada kekufuran. Allah ta’ala berfirman: “Banyak dari Ahli Kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman disebabkan oleh dengki dari dalam diri mereka setelah nyata bagi mereka kebenaran.” [QS Al-Baqoroh:109]. Upaya mereka ini meredup dalam beberapa kurun waktu hingga berakhirnya abad kemuliaan Islam (tiga generasi utama). 2. Periode setelah berlalunya kemuliaan Islam (tiga generasi utama) Usaha mereka muncul kembali di bawah slogan yang mereka buat untuk menipu kaum muslimin. Yaitu, bahwasanya agama Yahudi, Nasrani, dan Islam ibarat madzhab-madzhab fikih yang empat yang dimiliki oleh Islam, semuanya mengantar kepada jalan Allah ta’ala. Kemudian dilanjutkan oleh para penyeru paham wihdatul wujud (paham yang meyakini bahwa seluruh zat di alam ini hakekatnya hanyalah satu). Hal ini begitu kental mewarnai pemikiran para filosof. Dan Syaikhul Islam telah menyingkap kedok mereka dalam berbagai karya tulisnya. 3. Periode pertengahan abad ke-14 Seruan ini sesaat sempat mereda. Namun, pemikiran ini tetap bercokol di dalam dada penganutnya yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran. Sampai, pemikiran ini diadopsi oleh gerakan ‘Sun Moon Monotheism’ dan sebelumnya ‘Freemansory’, yaitu organisasi Yahudi untuk menguasai dunia dan menyebarkan atheisme serta ideologi kebebasan. Mereka menyerukan untuk menyatukan tiga agama samawi dan membuang fanatisme dengan dasar persamaan iman kepada Allah. 4. Periode masa kini Pada seperempat terakhir abad 14 Hijriah sampai sekarang, orang-orang Yahudi dan Nasrani secara terang-terangan mengajak kepada persatuan agama dengan berbagai macam slogan, seperti persatuan pengikut Musa, Isa, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam; pendekatan lintas agama; menentang fanatisme agama; solidaritas Islam dan Kristen dalam menentang komunisme atau slogan-slogan yang lainnya. (Selengkapnya bisa dilihat dalam kitab Al-Ibthal li Nazhariyatil Khalth baina Dinil Islam wa Ghairiha minal Adyan karya Bakr bin Abdullah Abu Zaid) Demikian sekilas fakta sejarah tentang munculnya teori pluralisme dan perkembangannya dalam masing-masing periode. Pembaca yang budiman, dengan mencermati kenyataan sejarah munculnya teori ini, kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa teori penyatuan agama ini pada hakekatnya diadopsi dari pemikiran orang Yahudi dan Nasrani. Sungguh ini mengingatkan kita akan sebuah untaian nasehat yang disampaikan oleh Muhammad bin Sirin, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian.” Jika realita sejarah ini sudah cukup untuk menunjukkan batilnya teori ini, lalu bagaimana kiranya jika teori ini bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama?! Ayat-Ayat Al-Qur`an Yang Menunjukkan Batilnya Pluralisme Beragama Pembaca yang budiman, selanjutnya kita beralih kepada beberapa argumen ilmiah yang menunjukkan batilnya teori ini menurut Al-Qur`an, di antaranya adalah sebagai berikut: Larangan mencampur-adukkan antara kebenaran dengan kebatilan. Allah I berfirman “Dan janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kalian sembunyikan yang hak itu, dalam keadaan kalian mengetahui.” [Q.S. Al-Baqarah:42]. Ibnu Jarir Ath-Thabary dalam tafsirnya menukilkan ucapan Mujahid terkait dengan ayat di atas, “Janganlah kalian campur adukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam.” Hal senada juga disebutkan oleh Qotadah sebagaimana tersebut dalam tafsir Ibnu Katsir, beliau mengatakan, “Jangan kalian campur-adukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam. Sesungguhnya agama Allah adalah Islam sedangkan agama Yahudi dan Nasrani adalah bid’ah (agama yang dibuat-buat) dan bukan berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.” Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun agama selainnya adalah batil dan tertolak “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” [Q.S. Ali-‘Imran:19]. “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS. Ali ‘Imran:85]. Kaum muslimin diperintahkan untuk berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan diselamatkan dari jalan orang-orang yang dimurkai Allah -yaitu kaum Yahudi- dan orang-orang yang sesat -yaitu kaum Nasrani-. Sebagaimana hal ini tersirat dalam surat Al-Fatihah yang dibaca pada setiap shalat: “Tunjukilah Kami ke jalan yang lurus.*. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” [QS Al-Fatihah:6-7] As-Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya, “Orang-orang yang dimurkai adalah mereka yang mengetahui kebenaran namun tidak mengamalkannya seperti orang-orang Yahudi dan semisalnya. Adapun orang-orang yang sesat adalah mereka yang meninggalkan kebenaran karena bodoh dan sesat, seperti orang-orang Nasrani dan yang semisalnya.” Jalan kebenaran yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala hanya ada satu, bukan kebenaran relatif yang bisa diakui oleh semua pihak sebagaimana diyakini oleh JIL dan para pengikutnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah satu jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” [QS Al-An’am : 153] Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kata ‘jalan-Nya’ (????????) dalam bentuk tunggal karena kebenaran hanya ada satu.” Dampak Negatif Pluralisme Beragama Pembaca yang budiman, teori ini sangat berbahaya karena akan meruntuhkan sendi-sendi ajaran Islam dan memberikan konsekuensi berupa hilangnya perbedaan antara Islam dan kekafiran, kebenaran dan kebatilan, runtuhnya amar ma’ruf nahi munkar, menghancurkan prinsip wala` (mencintai kaum mukminin dan loyal terhadap mereka) dan bara` (antipati terhadap orang-orang kafir) sebagai pembatas antara kaum muslimin dan orang-orang kafir, serta tidak ada lagi jihad untuk meninggikan kalimat Allah di atas bumi. Fatwa Ulama Tentang Hukum Pluralisme Agama Dan Penyerunya Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta` (Komisi Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) telah mengeluarkan fatwa terkait dengan permasalahan ini, yaitu fatwa nomor 19402, tertanggal 25 Muharrom 1418 Hijriah. Di antara butir fatwa yang disebutkan adalah sebagai berikut, “Berdasarkan semua dasar dan pokok akidah Islam yang telah disebutkan, maka jelaslah bahwa seruan kepada penyatuan agama dan pendekatan antaragama adalah seruan yang keji lagi menipu. Tujuannya adalah mencampur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, meruntuhkan Islam, menghancurkan sendi-sendinya, dan mengajak pengikutnya kepada kemurtadan secara total….” Dalam butir yang lain disebutkan: “Seruan kepada penyatuan agama ini jika muncul dari seorang muslim maka ini jelas merupakan perbuatan kemurtadan dari agama Islam. Karena, perbuatan ini menentang dasar-dasar aqidah Islam, rela terhadap kekufuran kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengingkari kebenaran Al-Qur`an dan salah satu fungsinya sebagai penghapus kitab-kitab sebelumnya serta mengingkari agama Islam sebagai penghapus syariat dan agama sebelumnya. Berdasarkan hal ini, maka seruan kepada pluralisme agama adalah konsep kepercayaan yang tertolak dan dipastikan keharamannya berdasarkan seluruh landasan hukum Islam, baik Al-Qur`an, Sunnah maupun Ijma’ (kesepakatan para ulama).” Maka hendaknya kaum muslimin jangan tertipu dengan keberadaan para ‘cendekiawan muslim’ liberal-sekuler yang ikut menjadi pengasong faham ini, meskipun mereka berupaya keras untuk menyebarkan paham ini dan mencari legitimasinya dalam ayat-ayat Al-Qur`an. Namun ketahuilah bahwa Allah I telah menjamin kemurnian ajaran Islam yang mulia ini dengan keberadaan para ulama yang akan senantiasa menyebarkan kebenaran dan menumpas kebatilan. “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” [Al-Hijr:9]. Kita memohon kepada Allah I dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang mulia agar melindungi kita semua dari pemikiran-pemikiran yang menyesatkan dan memberikan kita istiqomah (konsistensi) di atas Islam dan Iman. Allahu a’lam. Sebarkan tulisan ini : Sebarkan :
read more

Memaknai Kesempurnaan Islam

Buletin Tashfiyah Stay Connected » Memaknai Kesempurnaan Islam November 22, 2010 | Filed under: Aqidah,Artikel | Posted by: webmaster Sebarkan : Oleh Abû Muhammad Farhan Allah ta’âlâ telah mengaruniai umat Islam ini sebuah nikmat yang besar. Nikmat kesempurnaan agama Islam. Tidaklah Allah mewafatkan Nabi-Nya r kecuali setelah Allah menyempurnakan agama ini serta meridhainya bagi beliau dan umat beliau. Allah sub?ânahu wa ta’âlâ menurunkan sebuah ayat sebulan sebelum wafat Rasulullah r, dalam peristiwa haji Wadâ’, bertepatan pada hari Arafah, yang artinya, “Pada hari ini telah Kulengkapi untuk kalian agama kalian, dan telah Kusempurnakan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” [QS Al-Mâ`idah:3] Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat ini, “Allah memberi tahu Nabi-Nya dan kaum mukminin bahwa Allah sub?ânahu wa ta’âlâ telah melengkapi keimanan untuk mereka, sehingga tidak membutuhkan penambahan selamanya, dan Allah telah menyempurnakannya sehingga tidak akan menguranginya selamanya. Allah telah meridhai keimanan tersebut, maka tidak akan murka selama-lamanya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr Ath-Thabari dalam kitab tafsir beliau] Ibnu Katsir berkata dalam tafsir beliau, “Ini adalah nikmat Allah yang paling besar atas umat ini. Allah telah menyempurnakan untuk umat ini agama mereka, maka mereka tidak membutuhkan agama selain agama mereka, mereka juga tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka r. Oleh sebab itu, Allah menjadikan Nabi mereka sebagai penutup para nabi, Allah pun mengutus beliau untuk seluruh manusia dan jin. Maka, tidak ada perkara yang halal kecuali apa yang telah beliau halalkan dan tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang telah beliau haramkan. Demikian pula tidak ada agama kecuali apa yang telah beliau syariatkan.” Shahabat Abû Dzarr radhiyallâhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam wafat dan tidaklah burung membolak-balikkan kedua sayapnya di langit kecuali beliau telah menyebutkan ilmu darinya.” Artinya, perkara sekecil apapun telah diterangkan dalam syariat yang suci ini. Setelah itu, Abû Dzarr menyebutkan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian.” [H.R. Ath-Thabarani]. Hal senada diungkapkan pula oleh seorang shahabat Salmân Al-Fârisi saat seseorang berkata kepadanya, “Nabimu mengajarkan seluruh perkara hingga dalam buang hajat.” Beliau pun menjawab, “Benar, beliau melarang kami buang air besar ataupun buang air kecil dengan menghadap kiblat, demikian pula cebok dengan tangan kanan, dan cebok dengan kurang dari tiga batu, dengan menggunakan kotoran binatang, atau dengan tulang.” [H.R. Muslim dan selainnya]. Maknanya, jika dalam perkara yang dianggap sepele seperti ini saja telah dijelaskan secara gamblang, lebih-lebih dalam perkara yang lebih besar dari ini, berupa perkara ibadah dan lain sebagainya yang merupakan tata cara seorang hamba berinteraksi dan bermuamalah dengan Sang Penciptanya. Demikianlah pembaca yang budiman. Bersamaan dengan ini, ada satu hal yang perlu digarisbawahi. Kesempurnaan agama ini mempunyai konsekuensi logis yang tak mungkin lepas darinya. Yakni, kita harus beragama Islam ini dengan tanpa menambahinya ataupun menguranginya. Berhenti pada apa yang digariskan oleh syariat, dan tidak melampaui batasannya. Inilah makna penting dari kesempurnaan syariat kita. Hal ini juga dikemukakan oleh seorang ulama salaf, Mâlik bin Anas ra?imahullah, salah seorang imam madzhab yang empat, ulama yang digelari “Imâm Dâril Hijrah” (Ulama Negeri Hijrah, yakni Madinah) beliau menuturkan ketika menafsirkan ayat di atas (Al-Mâ`idah ayat 3) “Barang siapa mengadakan perkara baru dalam agama Islam yang dia anggap baik, maka dia telah menuduh bahwa Muhammad (shallallâhu ‘alaihi wa sallam) mengkhianati kerasulannya karena Allah telah berfirman [yang artinya], “Pada hari ini telah Kulengkapi untuk kalian agama kalian, dan telah Kusempurnakan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” [Q.S. Al-Mâ`idah:3] Maka perkara apapun yang hari itu bukan termasuk agama, hari ini pula bukan termasuk agama.” [Disebutkan oleh Asy-Syâthibi dalam kitab beliau “Al-I’tishâm”]. Dengarlah juga makna kesempurnaan Islam ini dari sabda Rasulullah r. Shahabat Al-‘Irbâdh bin Sâriyah t menuturkan bahwasanya Rasulullah r pernah berkhutbah dengan khutbah yang sangat menyentuh hingga mata para shahabat menangis dan hati mereka bergetar. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalamnya (yang artinya), “Aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya kecuali dia pasti binasa.” Rasulullah r telah bersabda pula (yang artinya), “Kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat setelahnya: Kitabullah dan sunnahku.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-?âkim di dalam kitab Al-Mustadrak dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Shahihul Jâmi’. Dan satu hal lagi yang perlu kita pahami bahwasanya yang dimaksud dengan kata “sunnahku” di sini ialah ajaran beliau, baik yang hukumnya mustahab maupun fardhu. Sebab, inilah yang dimaukan dengan kata “sunnah” oleh umat Islam yang terdahulu. Sedangkan kata sunnah yang berarti suatu perbuatan yang jika dilakukan mendapatkan pahala dan apabila tidak dilakukan tidak mendapat dosa, itu adalah makna istilah “sunnah” yang dipakai oleh para fuqaha pada zaman akhir-akhir ini. Kisah lain yang menyiratkan akan wajibnya berhenti pada apa yang telah beliau gariskan adalah kisah pengingkaran Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam saat beberapa orang shahabat bertanya tentang ibadah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam di waktu sendirian. Setelah mereka mendengar ibadah Nabi, mereka pun mengatakan, “Siapa kita dibandingkan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam? Padahal, beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Maka, salah seorang di antara mereka memutuskan bahwa dia akan shalat malam tiap hari, yang lain mengatakan bahwa dia akan puasa selamanya, yang lain lagi mengatakan bahwa dia akan menjauhi wanita dan tidak akan menikahinya. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan semua ini. Maka, saat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam“Adapun aku, -demi Allah- adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah. Akan tetapi, aku puasa dan terkadang tidak puasa, aku shalat dan aku juga tidur, aku pun juga menikahi wanita. Maka barang siapa benci dari sunnahku, dia bukanlah termasuk golonganku.” mendengar pernyataan mereka ini, Nabi pun mengatakan (yang artinya), Walhasil, tidak boleh bagi seorang muslim untuk menambahi perkara yang baru dalam agama Allah ini. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk beribadah kepada Allah kecuali dengan jalan yang telah Allah dan Rasul-Nya syariatkan. Bahkan, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk tunduk kepada perintah Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti Al-Qur`ân dan As-Sunah, demikian pula tidak boleh membuat-buat sesuatu yang tidak diizinkan Allah dan tidak pula disyariatkan oleh Rasul-Nya dalam agama ini, kendati pun kaum muslimin menganggap hal itu sebagai hal yang baik. Ini semua karena agama Islam ini telah sempurna dan semua yang di luar dari agama ini adalah bid’ah dan sesat. Wallahu a’lam. Rujukan:Mauqif Ahlis Sunah Ilmu Ushul Bida’ Tafsir Ibnu Katsir Kata Mutiara ‘Abdurrahmân bin ‘Amr Al-Auza’i mengatakan, “Wajib bagi kalian untuk mengambil jejak-jejak salaf[1], walau orang-orang menolak kalian. Hati-hati kalian dari pemikiran-pemikiran manusia, meski mereka menghias-hiasi ucapan mereka.” Imam Mâlik bin Anas mengatakan, “Tidak akan baik perkara umat ini melainkan dengan sesuatu yang memperbaiki umat yang pertamanya.” [1]Kata “salaf” yang dimaukan secara istilah adalah para shahabat Nabi r, dan yang mengikuti mereka dengan baik. [Usus Manhaj Salaf Fid Da’wati Ilallâh]. Sebarkan tulisan ini : Sebarkan :
read more

Shalawat Kepada Nabi

Oleh:Abu Muhammad Farhan Segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Rasul kita, Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat. Amma ba’d: Sebagai kaum muslimin, kita tentu sering sekali bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kita tahu bahwa shalawat adalah salah satu bukti cinta kita kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasul yang telah membawa sinar Islam, agama keselamatan yang sempuna. Di samping itu, shalawat adalah sebuah ibadah yang mulia. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kaum mukminin untuk bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Allah sebutkan bahwa Allah dan para malaikat bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” [Al-Ahzab:56] Arti Shalawat Dan Salam Atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, lantas apa makna shalawat dan salam atas Nabi? Imam Al-Bukhari t menyebutkan di dalam kitab shahih beliau penafsiran seorang ulama tabi’in, Abu ‘Aliyah t, beliau menjelaskan, “Maksud dari shalawat Allah kepada beliau adalah pujian Allah terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan para malaikat. Sedangkan maksud shalawat malaikat dan yang lainnya kepada beliau adalah mereka memohon kepada Allah agar senantiasa mencurahkan shalawat kepada beliau.” Adapun makna salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, diterangkan oleh Al-Majd Al-Fairuz Abadi dalam kitab beliau “Ash-Shalaatu wal Busyaru fish Shalati ‘ala Khairil Baysar”, “As-Salam -yang mana ini adalah salah satu nama dari nama-nama Allah- atasmu, maksudnya Engkau, wahai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan lepas dari kebaikan dan barakah serta akan selalu selamat dari kecelakaan dan kesengsaraan. Karena, nama Allah ta’ala hanyalah disebutkan kepada sesuatu yang diharapkan terkumpulkan padanya seluruh kebaikan dan barakah serta terlepasnya dari sesuatu kekurangan dan kerusakan. Bisa juga makna as-salam di sini adalah as-salamah (keselamatan), jadi maknanya adalah semoga ketetapan Allah terhadapmu, wahai Nabi, adalah keselamatan, yakni selamat dari celaan dan kekurangan.” Shalawat Yang Paling Afdhal Shalawat yang paling utama dan paling sempurna adalah shalawat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan sendiri kepada para sahabat ketika mereka bertanya. Dalam hadits-hadits berikut ini kita bisa melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sekedar mengajarkannya, bahkan beliau memerintahkannya. Ini menunjukkan bahwa lafal-lafal tersebut adalah yang paling utama dan sempurna. Karena, beliau tidaklah memilih untuk diri beliau kecuali yang mulia dan sempurna. Demikian penjelasan dari Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Sebagian lafal-lafal shalawat yang paling baik adalah shalawat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan dalam hadits-hadits berikut ini: Dari ‘Abdurrahman bin Abu Laila mengatakan, “Sahabat Ka’b bin ‘Ujrah pernah menemuiku dan mengatakan, maukah engkau kuberi sebuah hadiah yang saya dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Saya pun menjawab, “Tentu, berikanlah hadiah tersebut kepadaku.” Ia pun mengatakan, saya pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bagaimana bershalawat atas kalian ahlul bait? Sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kita cara mengucapkan salam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, ucapkanlah: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkannya kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Mulia. Ya Allah, limpahkanlah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Mulia.” [H.R. Al-Bukhari]. Dari Abu Sa’id Al-Khudri z, beliau mengatakan, “Kami bertanya kepada Rasulullah `, wahai Rasulullah, [yang Anda ajarkan] ini adalah cara bersalam atasmu, lalu bagaimana kami bershalawat? Beliau pun menjawab, “Ucapkan: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad, hamba dan Rasul-Mu, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim. Dan limpahkanlah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.” [H.R. Al-Bukhari] Dari Abu Humaid As-Sa’idi z, beliau mengatakan, “Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bagaimana bershalawat atasmu? Beliau pun menjawab: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad, istri-istri, dan keturunan beliau, sebagaimana Engkau limpahkan kepada keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah barakah kepada Muhammad, istri-istri dan keturunan beliau, sebagaimana Engkau limpahkan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Penyayang.” [H.R. Al-Bukhari]. Ini adalah sebagian shalawat yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahih Al-Bukhari, masih ada shalawat-shalawat lain yang diriwayatkan dari beliau yang belum bisa kami sebutkan. Sebagaimana kita jelaskan di muka, bershalawat dengan lafal-lafal yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih baik daripada shalawat yang lain. Ada satu hal yang patut kita perhatikan dari riwayat di atas. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang lafal shalawat yang benar di dalam hadits-hadits yang lewat, hal ini menunjukkan betapa besarnya semangat mereka untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang mana semangat ini kian memudar dalam barisan kaum muslimin. Kita dapati sebagian muslimin lebih menyukai shalawat-shalawat yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalawat Yang Paling Ringkas Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, Imam An-Nawawi mengatakan dalam kitab “Al-Adzkar”, “Apabila kalian bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya kalian menyebutkan shalawat dan salam sekaligus. Jangan menyebutkan salah satunya saja, ‘shallallahu ‘alaihi’ saja atau ‘’alaihis salam’ saja. Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwasanya lafal shalawat yang paling ringkas hendaknya terdiri dari dua bagian: shalawat dan salam. Janganlah kita mengurangi salah satunya sebagaimana jelas dalam keterangan Imam An-Nawawi di atas. Hal ini sejalan dengan firman Allah ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan salam kepadanya.” [Al-Ahzab:56]. Dua lafal shalawat dan salam yang ringkas dan seringkali kita dengar, yaitu shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ‘alaihish shalatu was salam (semoga shalawat dan salam tercurah kepada beliau) adalah contoh shalawat yang baik karena telah mencakup shalawat dan salam sekaligus. Namun, yang harus kita perhatikan di sini, seringkali orang menyingkat dengan kata ‘saw’ di dalam penulisan. Sebenarnya, bagaimana bimbingan para ulama mengenainya? Banyak ulama yang menganjurkan untuk menghindari penyingkatan shalawat menjadi beberapa huruf-huruf. Di antaranya adalah Imam Ibnu Shalah dalam kitab beliau ‘Ulumul Hadits, beliau mengatakan, “Seyogianya seorang penulis hadits selalu menjaga penulisan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut beliau. Janganlah dia bosan mengulang-ulang shalawat ketika mengulang penyebutan beliau. Karena, dalam penulisan shalawat dan salam tersebut terdapat faedah yang besar…” Kemudian beliau melanjutkan, “… Dan hendaknya dalam menulis shalawat menghindari dua hal: ditulis kurang dengan menyingkat menjadi dua huruf dan sejenisnya, atau menulisnya dengan mengurangi makna, seperti tanpa menulis ‘salam’.” Keutamaan shalawat Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, di antara perkara yang menunjukkan bahwa shalawat merupakan amalan yang besar adalah banyaknya keutamaan dan pahala yang dipersiapkan bagi yang melakukannya sebagaimana telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terangkan di dalam hadits-hadits beliau. Di antaranya beliau bersabda: “Siapa saja dari umatku yang bershalawat atasku dengan ikhlas dari dalam hatinya, maka Allah akan memujinya sepuluh kali dan mengangkat derajatnya sepuluh derajat, ditulis dengannya sepuluh kebajikan dan dihapuskan kesalahannya sepuluh kesalahan.” [H.R. An-Nasa`i dari sahabat Abu Burdah, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan, “Derajatnya hasan shahih” di dalam Shahih At-Targhib]. “Sesungguhnya manusia yang paling dekat padaku pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak mengucapkan shalawat kepadaku.” [H.R. At-Tirmidzi dari sahabat Ibnu Mas’ud, dilemahkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Dha’if At-Tirmidzi, kemudian beliau rujuk dari pelemahannya ini dan mengatakan di dalam Shahih At-Targhib, “Hasan lighairih”]. Di sisi lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang tidak mau bershalawat atas beliau. Beliau bersabda: “Orang yang bakhil adalah orang yang aku disebutkan di sisinya namun dia tidak bershalawat kepadaku.” [H.R. At-Tirmidzi dari sahabat Husain bin ‘Ali g dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih At-Targhib] “Barangsiapa lupa bershalawat atasku, maka dia telah terlewatkan dari salah satu jalan menuju surga.” [H.R. Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]. Penutup Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, di antara bukti cinta kita terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tunduk patuhnya kita terhadap perintah beliau. Dalam ibadah shalawat ini pula, sepantasnya seorang mukmin mengikuti ajaran beliau, tidak meremehkan amalan ibadah ini dan tidak pula berlebihan dalam bershalawat kepada beliau. Sebagaimana tidak pantas pula kita menyanjung beliau melebihi kadar beliau sebagai hamba sekaligus Rasul. Karena, beliau tidak menyukai untuk disanjung melebihi kadar beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian berlebihan dalam menyanjungku sebagaimana orang Nasrani berlebihan dalam menyanjung Isa bin Maryam. Saya adalah hamba-Nya. Maka katakanlah saja, ‘Hamba Allah dan rasul-Nya’.” [H.R. Al-Bukhari dari ‘Umar bin Al-Khaththab]. Dan hendaknya kita berhati-hati dari shalawat yang banyak tersebar dalam masyarakat. Di mana, sebagian shalawat-shalawat memiliki kandungan yang terlalu berlebihan dalam memuji beliau. Bahkan, sebagiannya mengandung kesyirikan dengan memberikan sifat-sifat ketuhanan kepada beliau atau menyejajarkan beliau dengan Allah. Sebagai contoh dari keberlebihan ini adalah penggambaran bahwa beliau lah yang mengangkat kesulitan dan mengabulkan hajat, yang mana ini semua adalah hak Allah semata, tidak dimiliki oleh selainnya. Demikian tulisan ringkas ini yang kami sarikan dari kitab “Fadhlus Shalat ‘alan Nabiy” karya Asy-Syaikh ’Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah. Allahu a’lam. Soal: Apakah hukum berdoa dengan selain doa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawab: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan di dalam “Majmu’ Fatawa” (jil.22/hal.510): Alhamdulillah. Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan doa termasuk ibadah yang paling bagus. Sedangkan, ibadah dibangun di atas tauqif (berhenti pada apa yang digariskan oleh dalil) dan ittiba’ (meneladani Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam), bukan di atas hawa nafsu dan bid’ah. Doa dan dzikir Nabi adalah dzikir dan doa terbaik bagi orang yang mencarinya. Orang yang meniti jalan tersebut berada jalan yang aman dan selamat. Faedah dan hasilnya pun tidak bisa terungkapkan oleh lisan dan tidak bisa pula dikuasai ilmunya oleh seorang insan. Adapun dzikir lainnya, terkadang hal itu haram, terkadang makruh, bahkan terkadang di dalamnya terdapat kesyirikan yang mana mayoritas manusia tidak mengetahui hal tersebut [terlebih lagi bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab], dan hal ini bisa panjang lebar jika dirinci lebih mendalam. Seseorang tidak diperbolehkan untuk membuat ajaran bagi orang lain berupa suatu dzikir dan doa tertentu selain yang diriwayatkan, kemudian menjadikannya sesuatu yang rutin; yang mana orang-orang melakukannya secara rutin seperti shalat lima waktu. Hal ini adalah membuat ajaran baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah. Berbeda halnya apabila seseorang terkadang berdoa [dengan doa yang tidak diajarkan Nabi] tanpa menjadikannya sebagai ajaran bagi manusia, jika tidak diketahui bahwa di dalamnya terkandung sesuatu keharaman, maka tidak bisa dipastikan haramnya doa dan dzikir tersebut. Akan tetapi, terkadang memang ada keharaman di dalamnya dan orang itu tidak menyadarinya. Hal ini sebagaimana [bolehnya] seseorang yang berdoa dalam keadaan darurat dengan doa yang terlintas di benaknya pada waktu itu [meski doa tersebut tidak diriwayatkan dari Nabi]. Hal ini dan yang semisalnya adalah serupa.” [Disadur dari Majmu' Fatawa]. Sebarkan tulisan ini : Sebarkan :
read more

REVOLUSI!!

Revolusi di Tunisia (yang disebut dengan Revolusi Melati) dimulai ketika seorang pemuda Tunisia melakukan protes bunuh diri dengan membakar dirinya di depan gedung pemerintahan daerah setempat. Aksi pemuda ini dipicu karena ketidaktersediaan lapangan kerja di Tunisia, yang membuat lulusan perguruan tinggi ini tidak memiliki jalan lain kecuali berdagang sayur dan buah, namun kemudian oleh pemerintah disita gerobaknya, karena dianggap tidak memiliki ijin usaha. Aksi pemuda ini memicu gelombang protes di negara yang terletak di tepi laut Mediterania ini. Para profesional, dosen, ahli hukum, polisi, buruh semua turun ke jalan, menuntut mundurnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali yang dianggap korup dan otoriter. Ben Ali lalu berhasil dilengserkan pada 14 Januari 2011. Keberhasilan penggulingan Ben Ali menyalakan api perlawanan rakyat di negara-negara Arab dan sebagian Afrika lainnya seperti Mesir, Libya, Bahrain, dan Yaman,. Di Mesir, terjadi unjuk rasa besar-besaran menuntut mundur Presiden Husni Mubarok yang telah berkuasa selama 30 tahun. Situasi politik dan keamanan menjadi tidak menentu, penjarahan terjadi dimana-mana. Saking kacaunya, Presiden Yudhoyono memerintahkan untuk mengevakuasi semua WNI yang berada di Mesir. Setelah unjuk rasa besar-besaran yang berlangsung selama 17 hari yang berpusat di Lapangan Tahrir Kairo, pada 11 Februari 2011 rakyat yang menamakan aksinya dengan “Jum’at Kemarahan” berhasil menurunkan Husni Mubarok sebagai Presiden Mesir, yang lalu menyerahkan pemerintahan sementara kepada militer. Gerakan perlawanan terus menjalar di dunia Arab dan sebagian Afrika. Setelah keberhasilan di Tunisia dan Mesir, kini sebagian rakyat Yaman juga menggelorakan semangat pembangkangan sipil terhadap rezim Presiden Ali Abdullah Saleh. Ribuan orang turun ke jalan di kota Aden, menuntut pemisahan Yaman Selatan dari Yaman Utara. Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990. Wilayah selatan memiliki sebagian besar minyak Yaman. Rakyat Yaman Selatan berpendapat bahwa orang-orang Yaman Utara memanfaatkan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam. Diilhami oleh perlawanan yang menggulingkan Presiden Tunisia dan Mesir, demonstran Yaman juga menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh. Di Libya situasi ikut memanas. Puluhan orang telah kehilangan nyawa sejak demonstrasi besar-besaran dimulai pada 15 Februari 2011. Di sisi lain, Presiden Muammar Khadafi yang telah berkuasa selama 42 tahun tetap bertahan. Di kota terbesar kedua di Libya, Benghazi, pengunjuk rasa membakar kantor radio setempat. Sekitar seribu narapidana dilaporkan kabur dari sebuah penjara di kota itu, memanfaatkan kacaunya keadaan. Demonstrasi besar-besaran menuntut penguasa turun juga terjadi di negara pulau di Teluk Persia, Bahrain. Bahrain adalah negara seluas Jakarta dengan penduduk sekitar 1,2 juta. Negeri ini diperintah oleh Muslim Sunni, namun dua pertiga penduduknya adalah Syiah. Kaum muda Syiah melancarkan protes atas pengangguran dan korupsi. Mereka menuntut mundur Perdana Menteri Khalifa bin Sulman al-Khalifa yang telah berkuasa selama 40 tahun. Di Indonesia, demonstrasi menuntut turunnya Presiden Yudhoyono terjadi hampir setiap hari, walau tidak sebesar gelombang protes di negara-negara Arab dan Afrika diatas. *** Pembaca yang dirahmati Allah, beberapa usaha penggulingan kekuasaan yang terjadi belakangan ini memiliki beberapa motif. Yang sering terjadi biasanya bermotif ekonomi, seperti harga-harga yang naik, tidaktersedianya komoditas pokok, hingga banyaknya pengangguran. Ada juga yang memiliki motif ideologi, agama, atau konsep bernegara. Pertama, marilah kita meninjau apabila usaha penggulingan itu bermotif agama. Kondisi keislaman di Indonesia, Mesir, Yaman, dan negara-negara diatas secara umum baik. Meski bukan negara yang secara resmi menjalankan syariat Islam, alhamdulillah kita bebas untuk menjalankan syariat Islam. Bebas beribadah, bebas mengadakan pengajian, dan wanitanya bebas untuk berhijab. Adzan berkumandang ke seantero negeri ketika waktu sholat tiba. Dan dakwah Islam pun bebas untuk disebarkan. Bahkan, pemerintah kita mendukung dan memberikan fasilitas dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan seperti ibadah haji, tim ru`yah hilal, pembentukan Departemen Agama, dan penyelenggaraan pernikahan secara Islam. Alhamdulillah, ini merupakan nikmat yang sangat besar. Timbul pertanyaaan, “Lho? Bukankah rezim Ben Ali di Tunisia itu melarang jilbab dan menutup masjid? Di mana kebaikannya untuk kaum muslimin?” Pembaca yang dirahmati Allah, kebingungan seperti ini akan terjawab bila kita bercermin pada kisah Nabi Musa q. Beliau q menghadapi suatu rezim, dimana penguasa rezim tersebut, yakni Fir’aun, mengaku sebagai Rabb, sebagai Tuhan, yang akan menghabisi siapa saja yang tidak mengagungkannya. Firaun merupakan sejelek-jelek penguasa yang pernah ada di muka bumi. Menghadapi ini, Nabi Musa q menasehati umatnya untuk tetap bersabar dan memperbaiki akidah mereka. Beliau tidak mengumpulkan massa dan melakukan kudeta. Dan apa buah kesabaran umat Nabi Musa q itu ? Allah l berfirman, ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ “Dan Kami wariskan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri timur dan barat, yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.” [Q.S. Al-A’raf:137] Sehingga, merupakan prinsip dasar aqidah kaum muslimin untuk tetap bersabar dibawah pemerintahan yang sezalim apapun, selama dia masih muslim. Dengan para pemimpin seperti Ben Ali dan Husni Mubarok yang masih mengaku sebagai muslim, apakah rezim mereka lebih buruk dibanding Fir’aun? Prinsip aqidah untuk tetap taat pada penguasa dalam hal kebaikan, dan tidak melakukan kudeta karena hal jelek yang dilakukannya –selama penguasa ini masih muslim–, bukanlah sesuatu yang bisa ditawar. Dia bukanlah ranah fiqh yang dalam kondisi darurat bisa merubah sesuatu yang haram menjadi halal. Sehingga, tidak ada rukhsah, tidak ada keringanan untuk mengabaikannya. Rasulullah ` bersabda, yang artinya : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Karena sungguh (kelak) orang yang masih hidup. Di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun Al-Mahdiyyun sepeninggalku.” [H.R. Abu Dawud & Tirmidzi dishahihkan oleh Syaikh al-Albani] Bahkan, dalam hadits Hudzaifah z, Rasulullah ` bersabda kepadanya, yang artinya “Engkau mendengar dan menaati penguasa. Sekalipun dipukul punggungmu dan diambil hartamu maka tetap mendengarlah dan taatlah.” (HR. Muslim) Lalu, apakah berarti Islam mengajarkan kita bertindak pasif? Tidak melakukan koreksi, memberikan nasehat kepada pemerintah? Hanya bersabar menunggu datangnya pertolongan Allah l? Alhamdulillah tidak. Syariat yang mulia ini telah mengaturnya. Rasulullah ` mengajarkan, yang artinya, “Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa pada suatu perkara maka janganlah dia tampakkan kepadanya secara terang-terangan, melainkan hendaklah dia pegang tangannya dan menyendiri dengannya, kalau dia (penguasa) menerima maka itu bagus, dan kalau tidak maka dia telah menunaikan kewajibannya memberikan nasehat.” (HR. Ahmad & Ibnu Abi Ashim, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani) Apabila kita tidak bisa menyampaikan nasehat secara langsung, maka bisa dengan cara menulis surat atau melalui orang yang dapat menyampaikan nasehat dengan cara yang baik, tanpa mengakibatkan hilangnya kewibawaan pemerintah, sebab hilangnya kewibawaannya akan mengakibatkan kerugian dan kerusakan yang lebih besar. Mungkin masih banyak diantara kita yang hingga saat ini masih belum merasa mantap. Apakah hanya dengan kesabaran? Tidak melakukan perlawanan sama sekali? Pembaca yang budiman, cara-cara menyelesaikan masalah telah diatur oleh Allah l melalui Al Qur’an dan As Sunnah. Karena Dialah yang paling mengetahui maslahat bagi manusia. Dalam Islam, kebenaran tidak ditentukan dengan hasil yang didapatkan, akan tetapi dengan cara penyelesaiannya. Terkadang hasil yang didapatkan dengan kesabaran itu justru tidak sesuai keinginan kita. Hasil ini kembali menjadi ujian bagi kita apakah kita masih bisa bersabar atasnya. Kisah umat Nabi Musa q diatas telah menjadi contoh bagaimana Allah l memberikan nikmat kepada hamba-Nya yang bersabar. Setelah kita meninjau revolusi dari motif agama atau ideologi, selanjutnya kita meninjau apabila revolusi tersebut bermotif ekonomi. Apabila ini menjadi motif utama untuk menggulingkan pemerintahan, maka sudah selayaknya kita bercermin pada generasi terbaik umat ini. Pada tahun 18 Hijriah, terjadi musim kemarau panjang yang mengakibatkan banyak orang dan binatang yang mati. Peristiwa ini kemudian dalam sejarah disebut sebagai “Krisis Tahun Ramadah”. Orang-orang banyak yang menggali lubang tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya—saking langkanya makanan. Apakah kita, kaum muslimin sekarang, terutama di Indonesia pernah merasakan kepedihan seperti itu? Alhamdulillah tidak. Namun dengan kondisi separah itu, dengan penuh kesabaran, kaum muslimin saat itu tetap taat dan patuh pada sang Khalifah, Umar bin Khattab a Tidak memberontak kepada Sang Khalifah atau menyalahkannya. Sudah seharusnya kita meniru mereka, generasi terbaik umat ini. “ Manusia yang paling baik adalah generasiku, kemudian yang setelahnya dan yang setelahnya.” [Muttafaq Alaihi] Sekarang di Tunis, para petingginya berebut kekuasaan, kaum intelektual bingung . Tidak siap. Baik ideologi, konsep bernegara, apalagi tindakan nyata. Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun. Inilah akibat dari diabaikannya prinsip ketaatan kepada penguasa. Prinsip ketaatan terhadap penguasa ini bukan dalam rangka melanggengkan praktik kezaliman atau membenarkannya. Akan tetapi dalam rangka memilih mudharot (keburukan) yang lebih ringan diantara dua mudharot yang telah terjadi dan akan terjadi. Dan sejarah membuktikan bahwa gerakan kudeta senantiasa mengakibatkan kerugian dan kerusakan yang lebih parah. Bersabar memang berat, menahan emosi tidak semua orang bisa, namun Allah menjanjikan ganjaran yang amat besar. Allah l berfirman, “Sifat-sifat yang baik itu tidak akan diberikan kepada siapapun, selain dari orang-orang yang berhati sabar dan tidak pula diberikan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan besar.” (QS. Fushilat 35) Wallahu alam bish showwab. (ristyandani) “Andai kami memiliki doa yang mustajab (dikabulkan), sungguh akan kami tujukan doa tersebut bagi penguasa, karena kebaikan bagi mereka adalah kebaikan bagi rakyat” (Ahmad bin Hanbal t, Majmu’ Al-Fatawa, 28/391) Sebarkan
read more

Hakikat Cinta

Istilah ‘cinta’ bukanlah sesuatu yang asing lagi, telah menjadi perkara yang lumrah diketahui oleh keumuman orang. Dan sudah sekian banyak orang mencoba mendefinisikan kata ini, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa tepat mencakup seluruh esensi makna cinta tersebut. Cinta seorang ibu kepada anaknya berbeda dengan cinta anak kepada ibunya, cinta seorang suami kepada istrinya berbeda dengan cinta seseorang kepada harta atau kedudukan. Demikianlah cinta. Alangkah nikmatnya tatkala anugerah cinta ini Allah bimbing dengan syariat-Nya dan betapa sedihnya ketika cinta tersebut buta tidak terbimbing atau Allah mencabut cinta tersebut dari dirinya. Seseorang yang telah hilang cintanya seakan ia telah kehilangan bagian besar fitrah dirinya, fitrah yang Allah ciptakan makhluk di atasnya. Sebagai seorang muslim, beribadah kepada Allah haruslah dilandasi oleh cinta kepada-Nya, Dzat yang telah menciptakan kita. Dalam shalat kita, puasa kita, haji kita semua tidak boleh lepas dari cinta, sebab ibadah seorang muslim kepada Allah itu dilandasi oleh tiga pokok utama; cinta, takut serta harap kepada Allah. Ketiga perkara ini adalah rukun ibadah, artinya ketiganya tidak boleh lepas dari ibadah seseorang. Allah ta’ala memerintahkan hambanya untuk beribadah kepada Allah dengan penuh cinta dan memberikan totalitas kecintaan kepada-Nya saja. Di sisi lain, Allah juga mencela hamba-Nya tatkala mereka menyamakan cinta antara Allah dengan selain-Nya sebagaimana firman-Nya, “Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amatlah besar cintanya kepada Allah”. [Q.S. Al-Baqarah:165]. Dalam ayat yang mulia ini, Allah mencela seorang yang menjadikan sekutu bagi Allah dalam kecintaan, ia beribadah kepada selain Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cinta seperti ibadahnya kepada Allah. Padahal, Allah adalah Al-Khaliq (Sang Pencipta), yang memberinya rezeki, menjaganya, dan memberikan nikmat yang tidak terhitung banyaknya, maka tidaklah pantas baginya membalas dengan ibadah kepada selain-Nya dan mencintai selainnya sama dengan cintanya kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah wajib. Cinta yang disertai dengan pengagungan, pemuliaan, penghambaan, dan perendahan diri terhadap-Nya. Inilah cinta ibadah yang harus diberikan kepada Allah semata, tidak boleh kepada selain-Nya sedikit pun. Adapun cinta yang bersifat tabiat, seperti cinta kepada ayah, ibu, anak, istri, rumah, pekerjaan, hobi, dan yang lainnya tentu diperbolehkan selama cinta tersebut sebatas manusiawi dan tidak membuatnya melanggar hukum Allah. Sebab, tatkala cinta kepada selain Allah didahulukan daripada cinta kepada Allah, maka seseorang akan meninggalkan perintah Allah, melanggar larangan Allah, dan akan mengedepankan dunianya. Sungguh Allah telah mencela orang–orang yang seperti ini keadaannya, Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. [Q.S. At-Taubah:24]. Ya, cinta memang indah, apalagi tatkala cinta dituntun di atas koridor syariat, seseorang akan merasakan nikmatnya Islam dan manisnya keimanan tatkala dilandasi dengan rasa cinta. Seperti halnya seorang makhluk yang berinteraksi dengan selainnya, akan indah dan menyenangkan jika didasari dengan cinta. Sungguh tatkala seorang hamba mencintai Allah, tentu Allah tidak akan menyia-nyiakannya, sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik z, beliau mengatakan, “Seseorang datang kepada Rasulullah ` dan bertanya tentang hari kiamat, maka Rasulullah ` bersabda, ”Apa yang engkau persiapkan untuk menyambutnya?” Orang tersebut menjawab, “Wahai Rasulullah `, aku tidak mempunyai persiapan dengan melakukan banyak shalat, tidak pula dengan berpuasa untuk menyambutnya. Hanya saja, aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Maka Rasulullah ` bersabda, “Seseorang bersama siapa yang dicintainya, dan engkau bersama dengan yang engkau cintai”. Maka, tidaklah kaum muslimin bergembira setelah keislaman mereka sebagaimana kegembiraan mereka demi mendengar hadits ini. Allahu a’lam. (Hammam). Sebarkan :
read more

Bukti Cinta

Sebuah pengakuan tidaklah cukup menjadi tolok ukur kejujuran seseorang. Tetapi akan dapat diketahui kebenarannya setelah adanya bukti nyata atas pernyataan dan pengakuannya tersebut. Tatkala seseorang mengaku bahwa ia mahir mengoperasikan komputer, kita tentu tidak sepenuhnya percaya kepadanya kecuali setelah terbukti bahwa orang tersebut memang mampu melakukannya. Dalam perkara cinta pun demikian, betapa banyak kita saksikan orang rela melakukan sesuatu demi menunjukkan cintanya, bahkan terkadang sampai melakukan perkara kemaksiatan dan keharaman untuk membuktikannya, mulai dari mencuri karena terdesak memenuhi kebutuhan keluarga, sampai jadi koruptor ulung untuk memuaskan gaya hidup istri. Kita yakin tatkala Allah mencintai seorang hamba, Allah akan menolong, membela, memenangkan dari musuhnya, menyelamatkan kehidupannya di dunia dan di akhirat serta sekian banyak kebaikan yang lainnya. Sesungguhnya kecintaan Allah tidak bisa dibandingkan dengan kecintaan seorang makhluk kepada makhluk yang lain. Kecintaan seorang makhluk kepada selainnya begitu terbatas sesuai kapasitasnya sebagai makhluk. Sedangkan kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang shalih akan melahirkan kebaikan yang banyak, tidak bisa dibatasi bentuk dan jumlahnya. Oleh sebab itu kita dapatkan begitu banyak manusia yang berlomba-lomba untuk mendapatkan cinta tersebut. Lihatlah orang Yahudi dan Nasrani yang bersikeras untuk disebut sebagai kekasih Allah, sampai-sampai mereka mengatakan, sebagaimana yang Allah kisahkan, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’” [Q.S. Al-Maidah:18]. Allah mengetahui bahwa akan ada orang yang mengaku cinta kepada-Nya, padahal hakikatnya ia tidak mencintai-Nya. Oleh sebab itu, Allah menurunkan ayat tentang pembuktian cinta seseorang kepada-Nya. Allah berfirman, ‘Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian”. [Q.S. Ali Imran:31]. Para ulama menyebutkan ayat Al-Quran yang mulia ini ayat mihnah (ujian), yakni menguji tentang kejujuran orang yang mengaku mencintai Allah apakah benar cintanya atau sekedar pengakuan kosong yang tiada berguna. Ada beberapa hal yang dapat menunjukkan kebenaran cinta seseorang kepada Allah ini. Di antaranya: 1 Mencintai perkara-perkara yang Allah cintai. Di antara apa yang Allah cintai adalah seluruh amal ketaatan yang banyak ragamnya yang lahir maupun yang batin. Tatkala seseorang mengaku cinta kepada Allah, tentu dia akan melakukan apapun yang Allah cintai itu, minimalnya ia suka dengan perbuatan tersebut walaupun dia belum mampu untuk melakukannya. 2 Membenci perkara-perkara yang Allah benci. Allah membenci kemaksiatan, kekafiran dan kemunafikan, tentunya seorang muslim juga akan membenci segala hal tersebut, dan menjauhinya. Mengenai dua poin ini, Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah maka sungguh telah sempurna keimanannya”. [H.R. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani v]. 3 Mendahulukan hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya cintai daripada apapun yang ia cintai dan senangi. Cinta memang membutuhkan pengorbanan berupa mengalahkan dan menomorduakan keinginan dan kecintaan diri atas kecintaan terhadap Allah, demikianlah bukti kecintaan seorang kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah ` bersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai dari anaknya, orang tuanya dan manusia seluruhnya”. [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. 4 Mengikuti dan mencontoh Nabi dalam semua pengamalan ibadah. Ibadah adalah hak Allah, sehingga ketentuan bentuk, waktu, tempat dan caranya pun harus sesuai dengan keinginan Allah dan aturan-Nya, padahal aturan dan ketentuan tidak bisa kita ketahui kecuali melewati perantaraan wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi-Nya. Jadi ibadah yang baik dan benar harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah. Allahu a’lam. (hammam) Sebarkan :
read more

Cinta Yang Terlarang

Cinta adalah asal-usul dan pokok dari amal perbuatan, baik perbuatan yang dibenarkan disisi syariat maupun yang tidak. Demikian pula, pokok amalan agama Islam adalah dengan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadi, segala keinginan yang menghalangi dan menandingi kesempurnaan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah penghalang dari keimanan dan penyebab lemahnya iman. Jika penghalang cinta ini kuat sehingga menghalangi pokok kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti penghalang tersebut merupakan kekufuran atau kesyirikan yang besar. Pada kasus ini terdapat contoh yang banyak,misalnya karena berlebihnya cinta seseorang kepada harta menyebabkannya mau meninggalkankan agamanya, masuk ke agama lain karena harta. Kita tidak bisa membayangkan seseorang yang cinta kepada Allah, Rasul, serta agamaNya rela untuk meninggalkan itu semua karena sebab harta dunia. Kecintaan kepada harta dunia inilah yang merupakan penghalang yang menyebabkan seseorang kufur kepadaNya. Adapun, kalau penghalang tersebut belum sampai menghalangi pokok kecintaan kepada Allah, maka penghalang tersebut akan mencacat kesempurnaan cinta dan akan menyebabkan lemahnya cinta tersebut yang selanjutnya akan menyebabkan cacat dan lemahnya tauhid seseorang, semisal orang yang tahu bahwa Allah telah melarangnya untuk minum minuman keras, tetapi karena ia lebih mendahulukan hawa nafsunya dari kecintaan kepada Allah, menyeretnya untuk berbuat maksiat kepadaNYa, tentulah suatu kemaksiatan merupakan perkara yang mengurangi tauhid seseorang. Allah ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah. mereka mencintainya seperti mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah”. [Q.S. Al-Baqarah:165]. Dalam ayat tersebut kita bisa melihat bahwa kecintaan itu bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keimanan masing-masing. Kesyirikan berupa mencintai selain Allah seperti kecintaannya kepada-Nya, menunjukkan lemahnya cinta kepada Allah karena mereka membagi cinta kepada selain-Nya. Cinta memiliki konsekuensi. Baik atau buruknya konsekuensi tersebut tergantung jenis cintanya. Cinta yang terpuji adalah cinta yang akan membawa manfaat bagi pemiliknya di dunia dan akhirat. Cinta yang seperti inilah pokok dari kebahagiaan, sedangkan cinta yang tercela adalah cinta yang tidak dapat memberikan manfaat di dunia dan akhirat, bahkan bisa jadi akan mengakibatkan mudharat bagi pemiliknya dalam dua kehidupan ini. Perhatikanlah bagaimana Allah mencela para kekasih yang saling berkasih sayang di atas maksiat kepada Rabbnya, kebencian terhadap agama-Nya dan permusuhan kepada pemeluknya. Allah berfirman: “Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain kecuali mereka yang bertakwa”. [Q.S. Az-Zukhruf:67]. Sungguh dua orang yang saling mengasihi atas dasar ketakwaan tentu akan saling mengajak kepada amalan shalih serta saling memperingatkan dari larangan Allah, cinta yang tumbuh dari dasar ketakwaan inilah yang akan langgeng terjalin sampai di akhirat nanti. Tabiat Cinta Manusia Manusia diberi tabiat menyenangi dan mencintai sesuatu dari dunianya. Cinta terhadap anak, istri, harta benda, atau seperti cintanya seorang yang haus terhadap air minum, dan rasa sukanya orang yang mengantuk terhadap tidur, semua ini masuk dari cinta yang tabi’iyah (sesuai tabiat). Kecintaan yang seperti ini tidaklah tercela selama hal tersebut tidak memalingkannya dari mengingat Allah, lupa dari cinta kepada Allah dan dari ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab, itu Allah berfirman dalam rangka mengingatkan manusia supaya tidak lalai dari itu semua, “Hai orang-orang beriman, janganlah harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi”. [Q.S. Al Munafiqun:9]. Akan tetapi, tatkala kecintaan yang bersifat tabiat ini kemudian menguasai seseorang sehingga mengalahkan cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan Agama-Nya, maka cinta ini menjadi cinta yang tercela, Allah berfirman, “Tetapi kalian lebih memilih kehidupan duniawi.(*). Sedang kehidupan akhirat itu adalah lebih baik dan lebih kekal”. [Q.S. Al-A’la 16-17]. Allahu a’lam. Hammam. Referensi: Ad-Da` Wad Dawa’, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah v. Sebarkan :
read more