Minggu, 29 Juli 2012

Bantahan Terhadap Pluralisme Agama

BANTAHAN TERHADAP PLURALISME AGAMA (TEORI PEMBAURAN ISLAM DENGAN AGAMA LAIN) Oleh: Abu Luqman Pembaca yang budiman, dewasa ini muncul banyak pertanyaan di kalangan umat Islam tentang pluralisme agama. Sebenarnya teori ini sudah lama muncul, hanya saja saat ini pluralisme agama menjelma menjadi sebuah paham yang begitu cepat menyebar dan semakin populer di semua lapisan masyarakat. Terlebih lagi, banyak orang yang dianggap sebagai cendekiawan muslim secara terang-terangan membenarkan dan menyeru kepada teori tersebut. Sampai-sampai sebagian dari mereka mendapat predikat sebagai bapak pluralisme agama. Ditambah lagi, munculnya ide gila untuk mencetak Al-Qur`an, Injil dan Taurat dalam satu buku. Bahkan, proyek pembauran agama ini sampai pada ide pembangunan masjid, gereja, sinagog, dan tempat ibadah lain dalam satu lokasi, baik di kampus-kampus, bandara, atau tempat umum lainnya. Semua fenomena ini membuat masyarakat semakin larut dalam kebingungan, sejauh mana kebenaran slogan-slogan konsep pemikiran ini dan bagaimana penilaian Islam terhadap hal ini? Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. Rangkaian Sejarah Munculnya Teori Pluralisme Beragama Dan Beberapa Analisis Kejadiannya Jikalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, maka virus pluralisme agama ini muncul dari orang-orang Yahudi dan Kristen. Teori ini termasuk teori lama jika ditinjau dari slogan-slogannya yang berupaya mengeluarkan kaum muslimin dari identitas keislamannya dan menggiring mereka kepada kemurtadan. Dengan menelusuri fase-fase sejarahnya, maka kita akan mendapatkan bahwa teori ini telah berjalan pada empat periode zaman, yaitu sebagai berikut : 1. Periode zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah subhanahu wa ta’ala telah menerangkan dalam Al-Qur`an bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen senantiasa berusaha menjauhkan kaum muslimin dari keislamannya dan mengajak mereka kepada kekufuran. Allah ta’ala berfirman: “Banyak dari Ahli Kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman disebabkan oleh dengki dari dalam diri mereka setelah nyata bagi mereka kebenaran.” [QS Al-Baqoroh:109]. Upaya mereka ini meredup dalam beberapa kurun waktu hingga berakhirnya abad kemuliaan Islam (tiga generasi utama). 2. Periode setelah berlalunya kemuliaan Islam (tiga generasi utama) Usaha mereka muncul kembali di bawah slogan yang mereka buat untuk menipu kaum muslimin. Yaitu, bahwasanya agama Yahudi, Nasrani, dan Islam ibarat madzhab-madzhab fikih yang empat yang dimiliki oleh Islam, semuanya mengantar kepada jalan Allah ta’ala. Kemudian dilanjutkan oleh para penyeru paham wihdatul wujud (paham yang meyakini bahwa seluruh zat di alam ini hakekatnya hanyalah satu). Hal ini begitu kental mewarnai pemikiran para filosof. Dan Syaikhul Islam telah menyingkap kedok mereka dalam berbagai karya tulisnya. 3. Periode pertengahan abad ke-14 Seruan ini sesaat sempat mereda. Namun, pemikiran ini tetap bercokol di dalam dada penganutnya yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran. Sampai, pemikiran ini diadopsi oleh gerakan ‘Sun Moon Monotheism’ dan sebelumnya ‘Freemansory’, yaitu organisasi Yahudi untuk menguasai dunia dan menyebarkan atheisme serta ideologi kebebasan. Mereka menyerukan untuk menyatukan tiga agama samawi dan membuang fanatisme dengan dasar persamaan iman kepada Allah. 4. Periode masa kini Pada seperempat terakhir abad 14 Hijriah sampai sekarang, orang-orang Yahudi dan Nasrani secara terang-terangan mengajak kepada persatuan agama dengan berbagai macam slogan, seperti persatuan pengikut Musa, Isa, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam; pendekatan lintas agama; menentang fanatisme agama; solidaritas Islam dan Kristen dalam menentang komunisme atau slogan-slogan yang lainnya. (Selengkapnya bisa dilihat dalam kitab Al-Ibthal li Nazhariyatil Khalth baina Dinil Islam wa Ghairiha minal Adyan karya Bakr bin Abdullah Abu Zaid) Demikian sekilas fakta sejarah tentang munculnya teori pluralisme dan perkembangannya dalam masing-masing periode. Pembaca yang budiman, dengan mencermati kenyataan sejarah munculnya teori ini, kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa teori penyatuan agama ini pada hakekatnya diadopsi dari pemikiran orang Yahudi dan Nasrani. Sungguh ini mengingatkan kita akan sebuah untaian nasehat yang disampaikan oleh Muhammad bin Sirin, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian.” Jika realita sejarah ini sudah cukup untuk menunjukkan batilnya teori ini, lalu bagaimana kiranya jika teori ini bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama?! Ayat-Ayat Al-Qur`an Yang Menunjukkan Batilnya Pluralisme Beragama Pembaca yang budiman, selanjutnya kita beralih kepada beberapa argumen ilmiah yang menunjukkan batilnya teori ini menurut Al-Qur`an, di antaranya adalah sebagai berikut: Larangan mencampur-adukkan antara kebenaran dengan kebatilan. Allah I berfirman “Dan janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kalian sembunyikan yang hak itu, dalam keadaan kalian mengetahui.” [Q.S. Al-Baqarah:42]. Ibnu Jarir Ath-Thabary dalam tafsirnya menukilkan ucapan Mujahid terkait dengan ayat di atas, “Janganlah kalian campur adukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam.” Hal senada juga disebutkan oleh Qotadah sebagaimana tersebut dalam tafsir Ibnu Katsir, beliau mengatakan, “Jangan kalian campur-adukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam. Sesungguhnya agama Allah adalah Islam sedangkan agama Yahudi dan Nasrani adalah bid’ah (agama yang dibuat-buat) dan bukan berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.” Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun agama selainnya adalah batil dan tertolak “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” [Q.S. Ali-‘Imran:19]. “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS. Ali ‘Imran:85]. Kaum muslimin diperintahkan untuk berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan diselamatkan dari jalan orang-orang yang dimurkai Allah -yaitu kaum Yahudi- dan orang-orang yang sesat -yaitu kaum Nasrani-. Sebagaimana hal ini tersirat dalam surat Al-Fatihah yang dibaca pada setiap shalat: “Tunjukilah Kami ke jalan yang lurus.*. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” [QS Al-Fatihah:6-7] As-Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya, “Orang-orang yang dimurkai adalah mereka yang mengetahui kebenaran namun tidak mengamalkannya seperti orang-orang Yahudi dan semisalnya. Adapun orang-orang yang sesat adalah mereka yang meninggalkan kebenaran karena bodoh dan sesat, seperti orang-orang Nasrani dan yang semisalnya.” Jalan kebenaran yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala hanya ada satu, bukan kebenaran relatif yang bisa diakui oleh semua pihak sebagaimana diyakini oleh JIL dan para pengikutnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah satu jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” [QS Al-An’am : 153] Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kata ‘jalan-Nya’ (????????) dalam bentuk tunggal karena kebenaran hanya ada satu.” Dampak Negatif Pluralisme Beragama Pembaca yang budiman, teori ini sangat berbahaya karena akan meruntuhkan sendi-sendi ajaran Islam dan memberikan konsekuensi berupa hilangnya perbedaan antara Islam dan kekafiran, kebenaran dan kebatilan, runtuhnya amar ma’ruf nahi munkar, menghancurkan prinsip wala` (mencintai kaum mukminin dan loyal terhadap mereka) dan bara` (antipati terhadap orang-orang kafir) sebagai pembatas antara kaum muslimin dan orang-orang kafir, serta tidak ada lagi jihad untuk meninggikan kalimat Allah di atas bumi. Fatwa Ulama Tentang Hukum Pluralisme Agama Dan Penyerunya Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta` (Komisi Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) telah mengeluarkan fatwa terkait dengan permasalahan ini, yaitu fatwa nomor 19402, tertanggal 25 Muharrom 1418 Hijriah. Di antara butir fatwa yang disebutkan adalah sebagai berikut, “Berdasarkan semua dasar dan pokok akidah Islam yang telah disebutkan, maka jelaslah bahwa seruan kepada penyatuan agama dan pendekatan antaragama adalah seruan yang keji lagi menipu. Tujuannya adalah mencampur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, meruntuhkan Islam, menghancurkan sendi-sendinya, dan mengajak pengikutnya kepada kemurtadan secara total….” Dalam butir yang lain disebutkan: “Seruan kepada penyatuan agama ini jika muncul dari seorang muslim maka ini jelas merupakan perbuatan kemurtadan dari agama Islam. Karena, perbuatan ini menentang dasar-dasar aqidah Islam, rela terhadap kekufuran kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengingkari kebenaran Al-Qur`an dan salah satu fungsinya sebagai penghapus kitab-kitab sebelumnya serta mengingkari agama Islam sebagai penghapus syariat dan agama sebelumnya. Berdasarkan hal ini, maka seruan kepada pluralisme agama adalah konsep kepercayaan yang tertolak dan dipastikan keharamannya berdasarkan seluruh landasan hukum Islam, baik Al-Qur`an, Sunnah maupun Ijma’ (kesepakatan para ulama).” Maka hendaknya kaum muslimin jangan tertipu dengan keberadaan para ‘cendekiawan muslim’ liberal-sekuler yang ikut menjadi pengasong faham ini, meskipun mereka berupaya keras untuk menyebarkan paham ini dan mencari legitimasinya dalam ayat-ayat Al-Qur`an. Namun ketahuilah bahwa Allah I telah menjamin kemurnian ajaran Islam yang mulia ini dengan keberadaan para ulama yang akan senantiasa menyebarkan kebenaran dan menumpas kebatilan. “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” [Al-Hijr:9]. Kita memohon kepada Allah I dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang mulia agar melindungi kita semua dari pemikiran-pemikiran yang menyesatkan dan memberikan kita istiqomah (konsistensi) di atas Islam dan Iman. Allahu a’lam. Sebarkan tulisan ini : Sebarkan :
read more

Memaknai Kesempurnaan Islam

Buletin Tashfiyah Stay Connected » Memaknai Kesempurnaan Islam November 22, 2010 | Filed under: Aqidah,Artikel | Posted by: webmaster Sebarkan : Oleh Abû Muhammad Farhan Allah ta’âlâ telah mengaruniai umat Islam ini sebuah nikmat yang besar. Nikmat kesempurnaan agama Islam. Tidaklah Allah mewafatkan Nabi-Nya r kecuali setelah Allah menyempurnakan agama ini serta meridhainya bagi beliau dan umat beliau. Allah sub?ânahu wa ta’âlâ menurunkan sebuah ayat sebulan sebelum wafat Rasulullah r, dalam peristiwa haji Wadâ’, bertepatan pada hari Arafah, yang artinya, “Pada hari ini telah Kulengkapi untuk kalian agama kalian, dan telah Kusempurnakan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” [QS Al-Mâ`idah:3] Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat ini, “Allah memberi tahu Nabi-Nya dan kaum mukminin bahwa Allah sub?ânahu wa ta’âlâ telah melengkapi keimanan untuk mereka, sehingga tidak membutuhkan penambahan selamanya, dan Allah telah menyempurnakannya sehingga tidak akan menguranginya selamanya. Allah telah meridhai keimanan tersebut, maka tidak akan murka selama-lamanya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr Ath-Thabari dalam kitab tafsir beliau] Ibnu Katsir berkata dalam tafsir beliau, “Ini adalah nikmat Allah yang paling besar atas umat ini. Allah telah menyempurnakan untuk umat ini agama mereka, maka mereka tidak membutuhkan agama selain agama mereka, mereka juga tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka r. Oleh sebab itu, Allah menjadikan Nabi mereka sebagai penutup para nabi, Allah pun mengutus beliau untuk seluruh manusia dan jin. Maka, tidak ada perkara yang halal kecuali apa yang telah beliau halalkan dan tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang telah beliau haramkan. Demikian pula tidak ada agama kecuali apa yang telah beliau syariatkan.” Shahabat Abû Dzarr radhiyallâhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam wafat dan tidaklah burung membolak-balikkan kedua sayapnya di langit kecuali beliau telah menyebutkan ilmu darinya.” Artinya, perkara sekecil apapun telah diterangkan dalam syariat yang suci ini. Setelah itu, Abû Dzarr menyebutkan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian.” [H.R. Ath-Thabarani]. Hal senada diungkapkan pula oleh seorang shahabat Salmân Al-Fârisi saat seseorang berkata kepadanya, “Nabimu mengajarkan seluruh perkara hingga dalam buang hajat.” Beliau pun menjawab, “Benar, beliau melarang kami buang air besar ataupun buang air kecil dengan menghadap kiblat, demikian pula cebok dengan tangan kanan, dan cebok dengan kurang dari tiga batu, dengan menggunakan kotoran binatang, atau dengan tulang.” [H.R. Muslim dan selainnya]. Maknanya, jika dalam perkara yang dianggap sepele seperti ini saja telah dijelaskan secara gamblang, lebih-lebih dalam perkara yang lebih besar dari ini, berupa perkara ibadah dan lain sebagainya yang merupakan tata cara seorang hamba berinteraksi dan bermuamalah dengan Sang Penciptanya. Demikianlah pembaca yang budiman. Bersamaan dengan ini, ada satu hal yang perlu digarisbawahi. Kesempurnaan agama ini mempunyai konsekuensi logis yang tak mungkin lepas darinya. Yakni, kita harus beragama Islam ini dengan tanpa menambahinya ataupun menguranginya. Berhenti pada apa yang digariskan oleh syariat, dan tidak melampaui batasannya. Inilah makna penting dari kesempurnaan syariat kita. Hal ini juga dikemukakan oleh seorang ulama salaf, Mâlik bin Anas ra?imahullah, salah seorang imam madzhab yang empat, ulama yang digelari “Imâm Dâril Hijrah” (Ulama Negeri Hijrah, yakni Madinah) beliau menuturkan ketika menafsirkan ayat di atas (Al-Mâ`idah ayat 3) “Barang siapa mengadakan perkara baru dalam agama Islam yang dia anggap baik, maka dia telah menuduh bahwa Muhammad (shallallâhu ‘alaihi wa sallam) mengkhianati kerasulannya karena Allah telah berfirman [yang artinya], “Pada hari ini telah Kulengkapi untuk kalian agama kalian, dan telah Kusempurnakan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” [Q.S. Al-Mâ`idah:3] Maka perkara apapun yang hari itu bukan termasuk agama, hari ini pula bukan termasuk agama.” [Disebutkan oleh Asy-Syâthibi dalam kitab beliau “Al-I’tishâm”]. Dengarlah juga makna kesempurnaan Islam ini dari sabda Rasulullah r. Shahabat Al-‘Irbâdh bin Sâriyah t menuturkan bahwasanya Rasulullah r pernah berkhutbah dengan khutbah yang sangat menyentuh hingga mata para shahabat menangis dan hati mereka bergetar. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalamnya (yang artinya), “Aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya kecuali dia pasti binasa.” Rasulullah r telah bersabda pula (yang artinya), “Kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat setelahnya: Kitabullah dan sunnahku.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-?âkim di dalam kitab Al-Mustadrak dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Shahihul Jâmi’. Dan satu hal lagi yang perlu kita pahami bahwasanya yang dimaksud dengan kata “sunnahku” di sini ialah ajaran beliau, baik yang hukumnya mustahab maupun fardhu. Sebab, inilah yang dimaukan dengan kata “sunnah” oleh umat Islam yang terdahulu. Sedangkan kata sunnah yang berarti suatu perbuatan yang jika dilakukan mendapatkan pahala dan apabila tidak dilakukan tidak mendapat dosa, itu adalah makna istilah “sunnah” yang dipakai oleh para fuqaha pada zaman akhir-akhir ini. Kisah lain yang menyiratkan akan wajibnya berhenti pada apa yang telah beliau gariskan adalah kisah pengingkaran Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam saat beberapa orang shahabat bertanya tentang ibadah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam di waktu sendirian. Setelah mereka mendengar ibadah Nabi, mereka pun mengatakan, “Siapa kita dibandingkan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam? Padahal, beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Maka, salah seorang di antara mereka memutuskan bahwa dia akan shalat malam tiap hari, yang lain mengatakan bahwa dia akan puasa selamanya, yang lain lagi mengatakan bahwa dia akan menjauhi wanita dan tidak akan menikahinya. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan semua ini. Maka, saat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam“Adapun aku, -demi Allah- adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah. Akan tetapi, aku puasa dan terkadang tidak puasa, aku shalat dan aku juga tidur, aku pun juga menikahi wanita. Maka barang siapa benci dari sunnahku, dia bukanlah termasuk golonganku.” mendengar pernyataan mereka ini, Nabi pun mengatakan (yang artinya), Walhasil, tidak boleh bagi seorang muslim untuk menambahi perkara yang baru dalam agama Allah ini. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk beribadah kepada Allah kecuali dengan jalan yang telah Allah dan Rasul-Nya syariatkan. Bahkan, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk tunduk kepada perintah Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti Al-Qur`ân dan As-Sunah, demikian pula tidak boleh membuat-buat sesuatu yang tidak diizinkan Allah dan tidak pula disyariatkan oleh Rasul-Nya dalam agama ini, kendati pun kaum muslimin menganggap hal itu sebagai hal yang baik. Ini semua karena agama Islam ini telah sempurna dan semua yang di luar dari agama ini adalah bid’ah dan sesat. Wallahu a’lam. Rujukan:Mauqif Ahlis Sunah Ilmu Ushul Bida’ Tafsir Ibnu Katsir Kata Mutiara ‘Abdurrahmân bin ‘Amr Al-Auza’i mengatakan, “Wajib bagi kalian untuk mengambil jejak-jejak salaf[1], walau orang-orang menolak kalian. Hati-hati kalian dari pemikiran-pemikiran manusia, meski mereka menghias-hiasi ucapan mereka.” Imam Mâlik bin Anas mengatakan, “Tidak akan baik perkara umat ini melainkan dengan sesuatu yang memperbaiki umat yang pertamanya.” [1]Kata “salaf” yang dimaukan secara istilah adalah para shahabat Nabi r, dan yang mengikuti mereka dengan baik. [Usus Manhaj Salaf Fid Da’wati Ilallâh]. Sebarkan tulisan ini : Sebarkan :
read more

Shalawat Kepada Nabi

Oleh:Abu Muhammad Farhan Segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Rasul kita, Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat. Amma ba’d: Sebagai kaum muslimin, kita tentu sering sekali bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kita tahu bahwa shalawat adalah salah satu bukti cinta kita kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasul yang telah membawa sinar Islam, agama keselamatan yang sempuna. Di samping itu, shalawat adalah sebuah ibadah yang mulia. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kaum mukminin untuk bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Allah sebutkan bahwa Allah dan para malaikat bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” [Al-Ahzab:56] Arti Shalawat Dan Salam Atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, lantas apa makna shalawat dan salam atas Nabi? Imam Al-Bukhari t menyebutkan di dalam kitab shahih beliau penafsiran seorang ulama tabi’in, Abu ‘Aliyah t, beliau menjelaskan, “Maksud dari shalawat Allah kepada beliau adalah pujian Allah terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan para malaikat. Sedangkan maksud shalawat malaikat dan yang lainnya kepada beliau adalah mereka memohon kepada Allah agar senantiasa mencurahkan shalawat kepada beliau.” Adapun makna salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, diterangkan oleh Al-Majd Al-Fairuz Abadi dalam kitab beliau “Ash-Shalaatu wal Busyaru fish Shalati ‘ala Khairil Baysar”, “As-Salam -yang mana ini adalah salah satu nama dari nama-nama Allah- atasmu, maksudnya Engkau, wahai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan lepas dari kebaikan dan barakah serta akan selalu selamat dari kecelakaan dan kesengsaraan. Karena, nama Allah ta’ala hanyalah disebutkan kepada sesuatu yang diharapkan terkumpulkan padanya seluruh kebaikan dan barakah serta terlepasnya dari sesuatu kekurangan dan kerusakan. Bisa juga makna as-salam di sini adalah as-salamah (keselamatan), jadi maknanya adalah semoga ketetapan Allah terhadapmu, wahai Nabi, adalah keselamatan, yakni selamat dari celaan dan kekurangan.” Shalawat Yang Paling Afdhal Shalawat yang paling utama dan paling sempurna adalah shalawat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan sendiri kepada para sahabat ketika mereka bertanya. Dalam hadits-hadits berikut ini kita bisa melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sekedar mengajarkannya, bahkan beliau memerintahkannya. Ini menunjukkan bahwa lafal-lafal tersebut adalah yang paling utama dan sempurna. Karena, beliau tidaklah memilih untuk diri beliau kecuali yang mulia dan sempurna. Demikian penjelasan dari Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Sebagian lafal-lafal shalawat yang paling baik adalah shalawat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan dalam hadits-hadits berikut ini: Dari ‘Abdurrahman bin Abu Laila mengatakan, “Sahabat Ka’b bin ‘Ujrah pernah menemuiku dan mengatakan, maukah engkau kuberi sebuah hadiah yang saya dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Saya pun menjawab, “Tentu, berikanlah hadiah tersebut kepadaku.” Ia pun mengatakan, saya pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bagaimana bershalawat atas kalian ahlul bait? Sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kita cara mengucapkan salam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, ucapkanlah: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkannya kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Mulia. Ya Allah, limpahkanlah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Mulia.” [H.R. Al-Bukhari]. Dari Abu Sa’id Al-Khudri z, beliau mengatakan, “Kami bertanya kepada Rasulullah `, wahai Rasulullah, [yang Anda ajarkan] ini adalah cara bersalam atasmu, lalu bagaimana kami bershalawat? Beliau pun menjawab, “Ucapkan: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad, hamba dan Rasul-Mu, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim. Dan limpahkanlah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.” [H.R. Al-Bukhari] Dari Abu Humaid As-Sa’idi z, beliau mengatakan, “Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bagaimana bershalawat atasmu? Beliau pun menjawab: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad, istri-istri, dan keturunan beliau, sebagaimana Engkau limpahkan kepada keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah barakah kepada Muhammad, istri-istri dan keturunan beliau, sebagaimana Engkau limpahkan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Penyayang.” [H.R. Al-Bukhari]. Ini adalah sebagian shalawat yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahih Al-Bukhari, masih ada shalawat-shalawat lain yang diriwayatkan dari beliau yang belum bisa kami sebutkan. Sebagaimana kita jelaskan di muka, bershalawat dengan lafal-lafal yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih baik daripada shalawat yang lain. Ada satu hal yang patut kita perhatikan dari riwayat di atas. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang lafal shalawat yang benar di dalam hadits-hadits yang lewat, hal ini menunjukkan betapa besarnya semangat mereka untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang mana semangat ini kian memudar dalam barisan kaum muslimin. Kita dapati sebagian muslimin lebih menyukai shalawat-shalawat yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalawat Yang Paling Ringkas Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, Imam An-Nawawi mengatakan dalam kitab “Al-Adzkar”, “Apabila kalian bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya kalian menyebutkan shalawat dan salam sekaligus. Jangan menyebutkan salah satunya saja, ‘shallallahu ‘alaihi’ saja atau ‘’alaihis salam’ saja. Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwasanya lafal shalawat yang paling ringkas hendaknya terdiri dari dua bagian: shalawat dan salam. Janganlah kita mengurangi salah satunya sebagaimana jelas dalam keterangan Imam An-Nawawi di atas. Hal ini sejalan dengan firman Allah ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan salam kepadanya.” [Al-Ahzab:56]. Dua lafal shalawat dan salam yang ringkas dan seringkali kita dengar, yaitu shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ‘alaihish shalatu was salam (semoga shalawat dan salam tercurah kepada beliau) adalah contoh shalawat yang baik karena telah mencakup shalawat dan salam sekaligus. Namun, yang harus kita perhatikan di sini, seringkali orang menyingkat dengan kata ‘saw’ di dalam penulisan. Sebenarnya, bagaimana bimbingan para ulama mengenainya? Banyak ulama yang menganjurkan untuk menghindari penyingkatan shalawat menjadi beberapa huruf-huruf. Di antaranya adalah Imam Ibnu Shalah dalam kitab beliau ‘Ulumul Hadits, beliau mengatakan, “Seyogianya seorang penulis hadits selalu menjaga penulisan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut beliau. Janganlah dia bosan mengulang-ulang shalawat ketika mengulang penyebutan beliau. Karena, dalam penulisan shalawat dan salam tersebut terdapat faedah yang besar…” Kemudian beliau melanjutkan, “… Dan hendaknya dalam menulis shalawat menghindari dua hal: ditulis kurang dengan menyingkat menjadi dua huruf dan sejenisnya, atau menulisnya dengan mengurangi makna, seperti tanpa menulis ‘salam’.” Keutamaan shalawat Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, di antara perkara yang menunjukkan bahwa shalawat merupakan amalan yang besar adalah banyaknya keutamaan dan pahala yang dipersiapkan bagi yang melakukannya sebagaimana telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terangkan di dalam hadits-hadits beliau. Di antaranya beliau bersabda: “Siapa saja dari umatku yang bershalawat atasku dengan ikhlas dari dalam hatinya, maka Allah akan memujinya sepuluh kali dan mengangkat derajatnya sepuluh derajat, ditulis dengannya sepuluh kebajikan dan dihapuskan kesalahannya sepuluh kesalahan.” [H.R. An-Nasa`i dari sahabat Abu Burdah, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan, “Derajatnya hasan shahih” di dalam Shahih At-Targhib]. “Sesungguhnya manusia yang paling dekat padaku pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak mengucapkan shalawat kepadaku.” [H.R. At-Tirmidzi dari sahabat Ibnu Mas’ud, dilemahkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Dha’if At-Tirmidzi, kemudian beliau rujuk dari pelemahannya ini dan mengatakan di dalam Shahih At-Targhib, “Hasan lighairih”]. Di sisi lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang tidak mau bershalawat atas beliau. Beliau bersabda: “Orang yang bakhil adalah orang yang aku disebutkan di sisinya namun dia tidak bershalawat kepadaku.” [H.R. At-Tirmidzi dari sahabat Husain bin ‘Ali g dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih At-Targhib] “Barangsiapa lupa bershalawat atasku, maka dia telah terlewatkan dari salah satu jalan menuju surga.” [H.R. Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]. Penutup Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, di antara bukti cinta kita terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tunduk patuhnya kita terhadap perintah beliau. Dalam ibadah shalawat ini pula, sepantasnya seorang mukmin mengikuti ajaran beliau, tidak meremehkan amalan ibadah ini dan tidak pula berlebihan dalam bershalawat kepada beliau. Sebagaimana tidak pantas pula kita menyanjung beliau melebihi kadar beliau sebagai hamba sekaligus Rasul. Karena, beliau tidak menyukai untuk disanjung melebihi kadar beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian berlebihan dalam menyanjungku sebagaimana orang Nasrani berlebihan dalam menyanjung Isa bin Maryam. Saya adalah hamba-Nya. Maka katakanlah saja, ‘Hamba Allah dan rasul-Nya’.” [H.R. Al-Bukhari dari ‘Umar bin Al-Khaththab]. Dan hendaknya kita berhati-hati dari shalawat yang banyak tersebar dalam masyarakat. Di mana, sebagian shalawat-shalawat memiliki kandungan yang terlalu berlebihan dalam memuji beliau. Bahkan, sebagiannya mengandung kesyirikan dengan memberikan sifat-sifat ketuhanan kepada beliau atau menyejajarkan beliau dengan Allah. Sebagai contoh dari keberlebihan ini adalah penggambaran bahwa beliau lah yang mengangkat kesulitan dan mengabulkan hajat, yang mana ini semua adalah hak Allah semata, tidak dimiliki oleh selainnya. Demikian tulisan ringkas ini yang kami sarikan dari kitab “Fadhlus Shalat ‘alan Nabiy” karya Asy-Syaikh ’Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah. Allahu a’lam. Soal: Apakah hukum berdoa dengan selain doa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawab: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan di dalam “Majmu’ Fatawa” (jil.22/hal.510): Alhamdulillah. Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan doa termasuk ibadah yang paling bagus. Sedangkan, ibadah dibangun di atas tauqif (berhenti pada apa yang digariskan oleh dalil) dan ittiba’ (meneladani Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam), bukan di atas hawa nafsu dan bid’ah. Doa dan dzikir Nabi adalah dzikir dan doa terbaik bagi orang yang mencarinya. Orang yang meniti jalan tersebut berada jalan yang aman dan selamat. Faedah dan hasilnya pun tidak bisa terungkapkan oleh lisan dan tidak bisa pula dikuasai ilmunya oleh seorang insan. Adapun dzikir lainnya, terkadang hal itu haram, terkadang makruh, bahkan terkadang di dalamnya terdapat kesyirikan yang mana mayoritas manusia tidak mengetahui hal tersebut [terlebih lagi bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab], dan hal ini bisa panjang lebar jika dirinci lebih mendalam. Seseorang tidak diperbolehkan untuk membuat ajaran bagi orang lain berupa suatu dzikir dan doa tertentu selain yang diriwayatkan, kemudian menjadikannya sesuatu yang rutin; yang mana orang-orang melakukannya secara rutin seperti shalat lima waktu. Hal ini adalah membuat ajaran baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah. Berbeda halnya apabila seseorang terkadang berdoa [dengan doa yang tidak diajarkan Nabi] tanpa menjadikannya sebagai ajaran bagi manusia, jika tidak diketahui bahwa di dalamnya terkandung sesuatu keharaman, maka tidak bisa dipastikan haramnya doa dan dzikir tersebut. Akan tetapi, terkadang memang ada keharaman di dalamnya dan orang itu tidak menyadarinya. Hal ini sebagaimana [bolehnya] seseorang yang berdoa dalam keadaan darurat dengan doa yang terlintas di benaknya pada waktu itu [meski doa tersebut tidak diriwayatkan dari Nabi]. Hal ini dan yang semisalnya adalah serupa.” [Disadur dari Majmu' Fatawa]. Sebarkan tulisan ini : Sebarkan :
read more

REVOLUSI!!

Revolusi di Tunisia (yang disebut dengan Revolusi Melati) dimulai ketika seorang pemuda Tunisia melakukan protes bunuh diri dengan membakar dirinya di depan gedung pemerintahan daerah setempat. Aksi pemuda ini dipicu karena ketidaktersediaan lapangan kerja di Tunisia, yang membuat lulusan perguruan tinggi ini tidak memiliki jalan lain kecuali berdagang sayur dan buah, namun kemudian oleh pemerintah disita gerobaknya, karena dianggap tidak memiliki ijin usaha. Aksi pemuda ini memicu gelombang protes di negara yang terletak di tepi laut Mediterania ini. Para profesional, dosen, ahli hukum, polisi, buruh semua turun ke jalan, menuntut mundurnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali yang dianggap korup dan otoriter. Ben Ali lalu berhasil dilengserkan pada 14 Januari 2011. Keberhasilan penggulingan Ben Ali menyalakan api perlawanan rakyat di negara-negara Arab dan sebagian Afrika lainnya seperti Mesir, Libya, Bahrain, dan Yaman,. Di Mesir, terjadi unjuk rasa besar-besaran menuntut mundur Presiden Husni Mubarok yang telah berkuasa selama 30 tahun. Situasi politik dan keamanan menjadi tidak menentu, penjarahan terjadi dimana-mana. Saking kacaunya, Presiden Yudhoyono memerintahkan untuk mengevakuasi semua WNI yang berada di Mesir. Setelah unjuk rasa besar-besaran yang berlangsung selama 17 hari yang berpusat di Lapangan Tahrir Kairo, pada 11 Februari 2011 rakyat yang menamakan aksinya dengan “Jum’at Kemarahan” berhasil menurunkan Husni Mubarok sebagai Presiden Mesir, yang lalu menyerahkan pemerintahan sementara kepada militer. Gerakan perlawanan terus menjalar di dunia Arab dan sebagian Afrika. Setelah keberhasilan di Tunisia dan Mesir, kini sebagian rakyat Yaman juga menggelorakan semangat pembangkangan sipil terhadap rezim Presiden Ali Abdullah Saleh. Ribuan orang turun ke jalan di kota Aden, menuntut pemisahan Yaman Selatan dari Yaman Utara. Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990. Wilayah selatan memiliki sebagian besar minyak Yaman. Rakyat Yaman Selatan berpendapat bahwa orang-orang Yaman Utara memanfaatkan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam. Diilhami oleh perlawanan yang menggulingkan Presiden Tunisia dan Mesir, demonstran Yaman juga menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh. Di Libya situasi ikut memanas. Puluhan orang telah kehilangan nyawa sejak demonstrasi besar-besaran dimulai pada 15 Februari 2011. Di sisi lain, Presiden Muammar Khadafi yang telah berkuasa selama 42 tahun tetap bertahan. Di kota terbesar kedua di Libya, Benghazi, pengunjuk rasa membakar kantor radio setempat. Sekitar seribu narapidana dilaporkan kabur dari sebuah penjara di kota itu, memanfaatkan kacaunya keadaan. Demonstrasi besar-besaran menuntut penguasa turun juga terjadi di negara pulau di Teluk Persia, Bahrain. Bahrain adalah negara seluas Jakarta dengan penduduk sekitar 1,2 juta. Negeri ini diperintah oleh Muslim Sunni, namun dua pertiga penduduknya adalah Syiah. Kaum muda Syiah melancarkan protes atas pengangguran dan korupsi. Mereka menuntut mundur Perdana Menteri Khalifa bin Sulman al-Khalifa yang telah berkuasa selama 40 tahun. Di Indonesia, demonstrasi menuntut turunnya Presiden Yudhoyono terjadi hampir setiap hari, walau tidak sebesar gelombang protes di negara-negara Arab dan Afrika diatas. *** Pembaca yang dirahmati Allah, beberapa usaha penggulingan kekuasaan yang terjadi belakangan ini memiliki beberapa motif. Yang sering terjadi biasanya bermotif ekonomi, seperti harga-harga yang naik, tidaktersedianya komoditas pokok, hingga banyaknya pengangguran. Ada juga yang memiliki motif ideologi, agama, atau konsep bernegara. Pertama, marilah kita meninjau apabila usaha penggulingan itu bermotif agama. Kondisi keislaman di Indonesia, Mesir, Yaman, dan negara-negara diatas secara umum baik. Meski bukan negara yang secara resmi menjalankan syariat Islam, alhamdulillah kita bebas untuk menjalankan syariat Islam. Bebas beribadah, bebas mengadakan pengajian, dan wanitanya bebas untuk berhijab. Adzan berkumandang ke seantero negeri ketika waktu sholat tiba. Dan dakwah Islam pun bebas untuk disebarkan. Bahkan, pemerintah kita mendukung dan memberikan fasilitas dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan seperti ibadah haji, tim ru`yah hilal, pembentukan Departemen Agama, dan penyelenggaraan pernikahan secara Islam. Alhamdulillah, ini merupakan nikmat yang sangat besar. Timbul pertanyaaan, “Lho? Bukankah rezim Ben Ali di Tunisia itu melarang jilbab dan menutup masjid? Di mana kebaikannya untuk kaum muslimin?” Pembaca yang dirahmati Allah, kebingungan seperti ini akan terjawab bila kita bercermin pada kisah Nabi Musa q. Beliau q menghadapi suatu rezim, dimana penguasa rezim tersebut, yakni Fir’aun, mengaku sebagai Rabb, sebagai Tuhan, yang akan menghabisi siapa saja yang tidak mengagungkannya. Firaun merupakan sejelek-jelek penguasa yang pernah ada di muka bumi. Menghadapi ini, Nabi Musa q menasehati umatnya untuk tetap bersabar dan memperbaiki akidah mereka. Beliau tidak mengumpulkan massa dan melakukan kudeta. Dan apa buah kesabaran umat Nabi Musa q itu ? Allah l berfirman, ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ “Dan Kami wariskan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri timur dan barat, yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.” [Q.S. Al-A’raf:137] Sehingga, merupakan prinsip dasar aqidah kaum muslimin untuk tetap bersabar dibawah pemerintahan yang sezalim apapun, selama dia masih muslim. Dengan para pemimpin seperti Ben Ali dan Husni Mubarok yang masih mengaku sebagai muslim, apakah rezim mereka lebih buruk dibanding Fir’aun? Prinsip aqidah untuk tetap taat pada penguasa dalam hal kebaikan, dan tidak melakukan kudeta karena hal jelek yang dilakukannya –selama penguasa ini masih muslim–, bukanlah sesuatu yang bisa ditawar. Dia bukanlah ranah fiqh yang dalam kondisi darurat bisa merubah sesuatu yang haram menjadi halal. Sehingga, tidak ada rukhsah, tidak ada keringanan untuk mengabaikannya. Rasulullah ` bersabda, yang artinya : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Karena sungguh (kelak) orang yang masih hidup. Di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun Al-Mahdiyyun sepeninggalku.” [H.R. Abu Dawud & Tirmidzi dishahihkan oleh Syaikh al-Albani] Bahkan, dalam hadits Hudzaifah z, Rasulullah ` bersabda kepadanya, yang artinya “Engkau mendengar dan menaati penguasa. Sekalipun dipukul punggungmu dan diambil hartamu maka tetap mendengarlah dan taatlah.” (HR. Muslim) Lalu, apakah berarti Islam mengajarkan kita bertindak pasif? Tidak melakukan koreksi, memberikan nasehat kepada pemerintah? Hanya bersabar menunggu datangnya pertolongan Allah l? Alhamdulillah tidak. Syariat yang mulia ini telah mengaturnya. Rasulullah ` mengajarkan, yang artinya, “Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa pada suatu perkara maka janganlah dia tampakkan kepadanya secara terang-terangan, melainkan hendaklah dia pegang tangannya dan menyendiri dengannya, kalau dia (penguasa) menerima maka itu bagus, dan kalau tidak maka dia telah menunaikan kewajibannya memberikan nasehat.” (HR. Ahmad & Ibnu Abi Ashim, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani) Apabila kita tidak bisa menyampaikan nasehat secara langsung, maka bisa dengan cara menulis surat atau melalui orang yang dapat menyampaikan nasehat dengan cara yang baik, tanpa mengakibatkan hilangnya kewibawaan pemerintah, sebab hilangnya kewibawaannya akan mengakibatkan kerugian dan kerusakan yang lebih besar. Mungkin masih banyak diantara kita yang hingga saat ini masih belum merasa mantap. Apakah hanya dengan kesabaran? Tidak melakukan perlawanan sama sekali? Pembaca yang budiman, cara-cara menyelesaikan masalah telah diatur oleh Allah l melalui Al Qur’an dan As Sunnah. Karena Dialah yang paling mengetahui maslahat bagi manusia. Dalam Islam, kebenaran tidak ditentukan dengan hasil yang didapatkan, akan tetapi dengan cara penyelesaiannya. Terkadang hasil yang didapatkan dengan kesabaran itu justru tidak sesuai keinginan kita. Hasil ini kembali menjadi ujian bagi kita apakah kita masih bisa bersabar atasnya. Kisah umat Nabi Musa q diatas telah menjadi contoh bagaimana Allah l memberikan nikmat kepada hamba-Nya yang bersabar. Setelah kita meninjau revolusi dari motif agama atau ideologi, selanjutnya kita meninjau apabila revolusi tersebut bermotif ekonomi. Apabila ini menjadi motif utama untuk menggulingkan pemerintahan, maka sudah selayaknya kita bercermin pada generasi terbaik umat ini. Pada tahun 18 Hijriah, terjadi musim kemarau panjang yang mengakibatkan banyak orang dan binatang yang mati. Peristiwa ini kemudian dalam sejarah disebut sebagai “Krisis Tahun Ramadah”. Orang-orang banyak yang menggali lubang tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya—saking langkanya makanan. Apakah kita, kaum muslimin sekarang, terutama di Indonesia pernah merasakan kepedihan seperti itu? Alhamdulillah tidak. Namun dengan kondisi separah itu, dengan penuh kesabaran, kaum muslimin saat itu tetap taat dan patuh pada sang Khalifah, Umar bin Khattab a Tidak memberontak kepada Sang Khalifah atau menyalahkannya. Sudah seharusnya kita meniru mereka, generasi terbaik umat ini. “ Manusia yang paling baik adalah generasiku, kemudian yang setelahnya dan yang setelahnya.” [Muttafaq Alaihi] Sekarang di Tunis, para petingginya berebut kekuasaan, kaum intelektual bingung . Tidak siap. Baik ideologi, konsep bernegara, apalagi tindakan nyata. Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun. Inilah akibat dari diabaikannya prinsip ketaatan kepada penguasa. Prinsip ketaatan terhadap penguasa ini bukan dalam rangka melanggengkan praktik kezaliman atau membenarkannya. Akan tetapi dalam rangka memilih mudharot (keburukan) yang lebih ringan diantara dua mudharot yang telah terjadi dan akan terjadi. Dan sejarah membuktikan bahwa gerakan kudeta senantiasa mengakibatkan kerugian dan kerusakan yang lebih parah. Bersabar memang berat, menahan emosi tidak semua orang bisa, namun Allah menjanjikan ganjaran yang amat besar. Allah l berfirman, “Sifat-sifat yang baik itu tidak akan diberikan kepada siapapun, selain dari orang-orang yang berhati sabar dan tidak pula diberikan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan besar.” (QS. Fushilat 35) Wallahu alam bish showwab. (ristyandani) “Andai kami memiliki doa yang mustajab (dikabulkan), sungguh akan kami tujukan doa tersebut bagi penguasa, karena kebaikan bagi mereka adalah kebaikan bagi rakyat” (Ahmad bin Hanbal t, Majmu’ Al-Fatawa, 28/391) Sebarkan
read more

Hakikat Cinta

Istilah ‘cinta’ bukanlah sesuatu yang asing lagi, telah menjadi perkara yang lumrah diketahui oleh keumuman orang. Dan sudah sekian banyak orang mencoba mendefinisikan kata ini, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa tepat mencakup seluruh esensi makna cinta tersebut. Cinta seorang ibu kepada anaknya berbeda dengan cinta anak kepada ibunya, cinta seorang suami kepada istrinya berbeda dengan cinta seseorang kepada harta atau kedudukan. Demikianlah cinta. Alangkah nikmatnya tatkala anugerah cinta ini Allah bimbing dengan syariat-Nya dan betapa sedihnya ketika cinta tersebut buta tidak terbimbing atau Allah mencabut cinta tersebut dari dirinya. Seseorang yang telah hilang cintanya seakan ia telah kehilangan bagian besar fitrah dirinya, fitrah yang Allah ciptakan makhluk di atasnya. Sebagai seorang muslim, beribadah kepada Allah haruslah dilandasi oleh cinta kepada-Nya, Dzat yang telah menciptakan kita. Dalam shalat kita, puasa kita, haji kita semua tidak boleh lepas dari cinta, sebab ibadah seorang muslim kepada Allah itu dilandasi oleh tiga pokok utama; cinta, takut serta harap kepada Allah. Ketiga perkara ini adalah rukun ibadah, artinya ketiganya tidak boleh lepas dari ibadah seseorang. Allah ta’ala memerintahkan hambanya untuk beribadah kepada Allah dengan penuh cinta dan memberikan totalitas kecintaan kepada-Nya saja. Di sisi lain, Allah juga mencela hamba-Nya tatkala mereka menyamakan cinta antara Allah dengan selain-Nya sebagaimana firman-Nya, “Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amatlah besar cintanya kepada Allah”. [Q.S. Al-Baqarah:165]. Dalam ayat yang mulia ini, Allah mencela seorang yang menjadikan sekutu bagi Allah dalam kecintaan, ia beribadah kepada selain Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cinta seperti ibadahnya kepada Allah. Padahal, Allah adalah Al-Khaliq (Sang Pencipta), yang memberinya rezeki, menjaganya, dan memberikan nikmat yang tidak terhitung banyaknya, maka tidaklah pantas baginya membalas dengan ibadah kepada selain-Nya dan mencintai selainnya sama dengan cintanya kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah wajib. Cinta yang disertai dengan pengagungan, pemuliaan, penghambaan, dan perendahan diri terhadap-Nya. Inilah cinta ibadah yang harus diberikan kepada Allah semata, tidak boleh kepada selain-Nya sedikit pun. Adapun cinta yang bersifat tabiat, seperti cinta kepada ayah, ibu, anak, istri, rumah, pekerjaan, hobi, dan yang lainnya tentu diperbolehkan selama cinta tersebut sebatas manusiawi dan tidak membuatnya melanggar hukum Allah. Sebab, tatkala cinta kepada selain Allah didahulukan daripada cinta kepada Allah, maka seseorang akan meninggalkan perintah Allah, melanggar larangan Allah, dan akan mengedepankan dunianya. Sungguh Allah telah mencela orang–orang yang seperti ini keadaannya, Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. [Q.S. At-Taubah:24]. Ya, cinta memang indah, apalagi tatkala cinta dituntun di atas koridor syariat, seseorang akan merasakan nikmatnya Islam dan manisnya keimanan tatkala dilandasi dengan rasa cinta. Seperti halnya seorang makhluk yang berinteraksi dengan selainnya, akan indah dan menyenangkan jika didasari dengan cinta. Sungguh tatkala seorang hamba mencintai Allah, tentu Allah tidak akan menyia-nyiakannya, sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik z, beliau mengatakan, “Seseorang datang kepada Rasulullah ` dan bertanya tentang hari kiamat, maka Rasulullah ` bersabda, ”Apa yang engkau persiapkan untuk menyambutnya?” Orang tersebut menjawab, “Wahai Rasulullah `, aku tidak mempunyai persiapan dengan melakukan banyak shalat, tidak pula dengan berpuasa untuk menyambutnya. Hanya saja, aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Maka Rasulullah ` bersabda, “Seseorang bersama siapa yang dicintainya, dan engkau bersama dengan yang engkau cintai”. Maka, tidaklah kaum muslimin bergembira setelah keislaman mereka sebagaimana kegembiraan mereka demi mendengar hadits ini. Allahu a’lam. (Hammam). Sebarkan :
read more

Bukti Cinta

Sebuah pengakuan tidaklah cukup menjadi tolok ukur kejujuran seseorang. Tetapi akan dapat diketahui kebenarannya setelah adanya bukti nyata atas pernyataan dan pengakuannya tersebut. Tatkala seseorang mengaku bahwa ia mahir mengoperasikan komputer, kita tentu tidak sepenuhnya percaya kepadanya kecuali setelah terbukti bahwa orang tersebut memang mampu melakukannya. Dalam perkara cinta pun demikian, betapa banyak kita saksikan orang rela melakukan sesuatu demi menunjukkan cintanya, bahkan terkadang sampai melakukan perkara kemaksiatan dan keharaman untuk membuktikannya, mulai dari mencuri karena terdesak memenuhi kebutuhan keluarga, sampai jadi koruptor ulung untuk memuaskan gaya hidup istri. Kita yakin tatkala Allah mencintai seorang hamba, Allah akan menolong, membela, memenangkan dari musuhnya, menyelamatkan kehidupannya di dunia dan di akhirat serta sekian banyak kebaikan yang lainnya. Sesungguhnya kecintaan Allah tidak bisa dibandingkan dengan kecintaan seorang makhluk kepada makhluk yang lain. Kecintaan seorang makhluk kepada selainnya begitu terbatas sesuai kapasitasnya sebagai makhluk. Sedangkan kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang shalih akan melahirkan kebaikan yang banyak, tidak bisa dibatasi bentuk dan jumlahnya. Oleh sebab itu kita dapatkan begitu banyak manusia yang berlomba-lomba untuk mendapatkan cinta tersebut. Lihatlah orang Yahudi dan Nasrani yang bersikeras untuk disebut sebagai kekasih Allah, sampai-sampai mereka mengatakan, sebagaimana yang Allah kisahkan, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’” [Q.S. Al-Maidah:18]. Allah mengetahui bahwa akan ada orang yang mengaku cinta kepada-Nya, padahal hakikatnya ia tidak mencintai-Nya. Oleh sebab itu, Allah menurunkan ayat tentang pembuktian cinta seseorang kepada-Nya. Allah berfirman, ‘Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian”. [Q.S. Ali Imran:31]. Para ulama menyebutkan ayat Al-Quran yang mulia ini ayat mihnah (ujian), yakni menguji tentang kejujuran orang yang mengaku mencintai Allah apakah benar cintanya atau sekedar pengakuan kosong yang tiada berguna. Ada beberapa hal yang dapat menunjukkan kebenaran cinta seseorang kepada Allah ini. Di antaranya: 1 Mencintai perkara-perkara yang Allah cintai. Di antara apa yang Allah cintai adalah seluruh amal ketaatan yang banyak ragamnya yang lahir maupun yang batin. Tatkala seseorang mengaku cinta kepada Allah, tentu dia akan melakukan apapun yang Allah cintai itu, minimalnya ia suka dengan perbuatan tersebut walaupun dia belum mampu untuk melakukannya. 2 Membenci perkara-perkara yang Allah benci. Allah membenci kemaksiatan, kekafiran dan kemunafikan, tentunya seorang muslim juga akan membenci segala hal tersebut, dan menjauhinya. Mengenai dua poin ini, Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah maka sungguh telah sempurna keimanannya”. [H.R. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani v]. 3 Mendahulukan hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya cintai daripada apapun yang ia cintai dan senangi. Cinta memang membutuhkan pengorbanan berupa mengalahkan dan menomorduakan keinginan dan kecintaan diri atas kecintaan terhadap Allah, demikianlah bukti kecintaan seorang kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah ` bersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai dari anaknya, orang tuanya dan manusia seluruhnya”. [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. 4 Mengikuti dan mencontoh Nabi dalam semua pengamalan ibadah. Ibadah adalah hak Allah, sehingga ketentuan bentuk, waktu, tempat dan caranya pun harus sesuai dengan keinginan Allah dan aturan-Nya, padahal aturan dan ketentuan tidak bisa kita ketahui kecuali melewati perantaraan wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi-Nya. Jadi ibadah yang baik dan benar harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah. Allahu a’lam. (hammam) Sebarkan :
read more

Cinta Yang Terlarang

Cinta adalah asal-usul dan pokok dari amal perbuatan, baik perbuatan yang dibenarkan disisi syariat maupun yang tidak. Demikian pula, pokok amalan agama Islam adalah dengan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadi, segala keinginan yang menghalangi dan menandingi kesempurnaan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah penghalang dari keimanan dan penyebab lemahnya iman. Jika penghalang cinta ini kuat sehingga menghalangi pokok kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti penghalang tersebut merupakan kekufuran atau kesyirikan yang besar. Pada kasus ini terdapat contoh yang banyak,misalnya karena berlebihnya cinta seseorang kepada harta menyebabkannya mau meninggalkankan agamanya, masuk ke agama lain karena harta. Kita tidak bisa membayangkan seseorang yang cinta kepada Allah, Rasul, serta agamaNya rela untuk meninggalkan itu semua karena sebab harta dunia. Kecintaan kepada harta dunia inilah yang merupakan penghalang yang menyebabkan seseorang kufur kepadaNya. Adapun, kalau penghalang tersebut belum sampai menghalangi pokok kecintaan kepada Allah, maka penghalang tersebut akan mencacat kesempurnaan cinta dan akan menyebabkan lemahnya cinta tersebut yang selanjutnya akan menyebabkan cacat dan lemahnya tauhid seseorang, semisal orang yang tahu bahwa Allah telah melarangnya untuk minum minuman keras, tetapi karena ia lebih mendahulukan hawa nafsunya dari kecintaan kepada Allah, menyeretnya untuk berbuat maksiat kepadaNYa, tentulah suatu kemaksiatan merupakan perkara yang mengurangi tauhid seseorang. Allah ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah. mereka mencintainya seperti mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah”. [Q.S. Al-Baqarah:165]. Dalam ayat tersebut kita bisa melihat bahwa kecintaan itu bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keimanan masing-masing. Kesyirikan berupa mencintai selain Allah seperti kecintaannya kepada-Nya, menunjukkan lemahnya cinta kepada Allah karena mereka membagi cinta kepada selain-Nya. Cinta memiliki konsekuensi. Baik atau buruknya konsekuensi tersebut tergantung jenis cintanya. Cinta yang terpuji adalah cinta yang akan membawa manfaat bagi pemiliknya di dunia dan akhirat. Cinta yang seperti inilah pokok dari kebahagiaan, sedangkan cinta yang tercela adalah cinta yang tidak dapat memberikan manfaat di dunia dan akhirat, bahkan bisa jadi akan mengakibatkan mudharat bagi pemiliknya dalam dua kehidupan ini. Perhatikanlah bagaimana Allah mencela para kekasih yang saling berkasih sayang di atas maksiat kepada Rabbnya, kebencian terhadap agama-Nya dan permusuhan kepada pemeluknya. Allah berfirman: “Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain kecuali mereka yang bertakwa”. [Q.S. Az-Zukhruf:67]. Sungguh dua orang yang saling mengasihi atas dasar ketakwaan tentu akan saling mengajak kepada amalan shalih serta saling memperingatkan dari larangan Allah, cinta yang tumbuh dari dasar ketakwaan inilah yang akan langgeng terjalin sampai di akhirat nanti. Tabiat Cinta Manusia Manusia diberi tabiat menyenangi dan mencintai sesuatu dari dunianya. Cinta terhadap anak, istri, harta benda, atau seperti cintanya seorang yang haus terhadap air minum, dan rasa sukanya orang yang mengantuk terhadap tidur, semua ini masuk dari cinta yang tabi’iyah (sesuai tabiat). Kecintaan yang seperti ini tidaklah tercela selama hal tersebut tidak memalingkannya dari mengingat Allah, lupa dari cinta kepada Allah dan dari ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab, itu Allah berfirman dalam rangka mengingatkan manusia supaya tidak lalai dari itu semua, “Hai orang-orang beriman, janganlah harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi”. [Q.S. Al Munafiqun:9]. Akan tetapi, tatkala kecintaan yang bersifat tabiat ini kemudian menguasai seseorang sehingga mengalahkan cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan Agama-Nya, maka cinta ini menjadi cinta yang tercela, Allah berfirman, “Tetapi kalian lebih memilih kehidupan duniawi.(*). Sedang kehidupan akhirat itu adalah lebih baik dan lebih kekal”. [Q.S. Al-A’la 16-17]. Allahu a’lam. Hammam. Referensi: Ad-Da` Wad Dawa’, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah v. Sebarkan :
read more

Mencecap Manisnya Iman Dengan Cinta

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ Dari Anas bin Malik z beliau berkata, Rasulullah ` bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang tiga perkara itu ada padanya, maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; tidaklah ia mencintai seseorang kecuali karena Allah; seorang yang tidak mau kembali kedalam kekufuran, sebagaimana ia benci untuk dilemparkan kedalam api neraka”. [H.R. Al-Bukhari dan Muslim] Keimanan adalah penentu yang membedakan derajat dan tingkatan keislaman seseorang. Secara umum kaum muslimin memiliki pokok keimanan yang mengesahkan keislamannya, yaitu yang disebutkan di dalam hadits, ”Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.” [H.R. Muslim] Adapun keimanan yang bersifat terperinci, tidak dimiliki kebanyakan manusia. Karena, untuk mencapai taraf keimanan yang seperti ini membutuhkan kesungguh-sungguhan dalam mempelajari Islam secara terperinci dan dia akan mendapati kesusahan dan berbagai cobaan di dalamnya. Iman yang terperinci mencakup keimanan terhadap seluruh yang datang dari Rasulullah ` dengan pengetahuan, pengakuan, serta kecintaan, sekaligus mengetahui, membenci dan menjauhi lawan dari iman tersebut. Kewajiban orang yang beriman adalah mewujudkan konsekuensi keimanan tersebut, dengan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan seluruh larangan Allah dan rasul-Nya. Secara tabiat manusia hal ini akan bertentangan dengan keinginan diri dan kesenangannya, tentu ia akan merasa susah dan berat untuk melaksanakan apa yang tidak disukai oleh jiwanya. Kecuali, ada faktor pendorong dalam melaksanakan semua beban tersebut. Sebenarnya iman memiliki rasa manis, sehingga tatkala seseorang mendapatkannya ia akan senang dan cinta kepada iman tersebut. Tengoklah banyak kisah dari para Rasul dan Nabi serta para pengikut mereka, bagaimana mereka dengan gigih dan kokoh mempertahankan agama, memperjuangkannya dan tidak gentar terhadap lawan-lawan mereka yang begitu ganas dan keras perlawanannya. Tentulah mereka melaksanakannya tidak dengan rasa benci atau terpaksa tetapi karena keimanan dan rasa manisnya iman tersebut. Mereka menikmati segala kesusahan dalam perjuangan demi cinta mereka kepada Allah. Dari hadits di atas kita bisa mengetahui bahwa untuk mendapatkan manisnya iman, seorang dapat melakukan tiga perkara: 1. Allah serta Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Keduanya lebih ia cintai daripada dirinya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang riwayat dari Umar bin Al-Khaththab z, bahwa beliau berkata, “Wahai Rasulullah sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku.” Maka Rasulullah bersabda, ”Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, (tidak benar) sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri”. Umar berkata, “Sekarang wahai Rasulullah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Rasulullah bersabda, “Sekarang (baru benar) wahai Umar.” [H.R. Al-Bukhari]. 2. Mencintai seseorang karena Allah. Seorang yang mencintai Allah tentu akan mencintai apa yang Allah cintai. Ketika Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang shalih maka kita pun harus mencintai mereka. Meskipun kita tidak bisa memastikan seseorang shalih di sisi Allah atau tidak, Allah yang lebih tahu tentang hal tersebut, namun kita bisa menilainya dari lahiriahnya yaitu pengamalan syariat yang dilakukannya. Tatkala ia senang mengamalkan amalan shalih dan meninggalkan keharaman maka ketika itulah kita mencintainya. 3. Benci kembali kepada kekafiran. Kekafiran adalah lawan dari keimanan. Seseorang akan mendapatkan manisnya keimanan tatkala terkumpul padanya kecintaan terhadap perkara-perkara keimanan dan kebencian atas perkara-perkara yang menggugurkannya. Allahu a’lam. (Hammam) (Referensi: Al-Fawa`id, karya Ibnul Qayyim v) Sebarkan :
read more

Mengenal Allah Lebih Dekat

Manusia diciptakan oleh Allah tentu memiliki tujuan, bukan sekedar hidup untuk makan, minum, mendapatkan keturunan kemudian setelah itu mati tanpa ada tanggung jawab. Tetapi manusia diciptakan dengan mengemban misi mulia, yaitu menegakkan hak Allah atas mereka berupa ibadah yang murni kepada-Nya. Sebagaimana telah Allah sebutkan dalam ayat-Nya yang mulia, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [Q.S. Adz Dzariyat:56]. Sehingga, tatkala manusia melaksanakan apa yang menjadi tujuan penciptaan mereka, berupa ibadah yang murni kepada Allah berarti mereka telah melakukan tanggung jawab mereka kepada Allah, tentu saja Allah akan memberikan balasan yang besar terhadap amalan mereka. Telah menjadi ketetapan dari bahwa manusia tidak dapat mengetahui perkara-perkara ghaib, tersembunyi atas mereka. Mereka tidak mungkin dapat mengetahui jin, malaikat, atau makhluk yang ghaib lainnya kecuali dengan izin Allah. Sebagaimana mereka pun tidak mengetahui perkara yang akan datang kecuali dengan izin-Nya, sebagaimana firman, “Ialah Allah yang mengetahui perkara ghaib, maka Ia tidak memperlihatkan yang ghaib itu kepada seorangpun. Kecuali kepada siapa yang Ia ridhai dari para RasuL.” [Al Jin:26-27]. Termasuk dari yang ghaib adalah Dzat Allah Rabb pencipta mereka. Allah telah menetapkan bahwa Ia tidak bisa dilihat oleh mata manusia pada kehidupan di dunia ini, sebagaimana hal tersebut telah Allah terangkan sendiri dalam Al Quran tatkala menjawab permintaan Nabi Musa, “(Musa) berkata; ya Rabb tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu, (Allah) berfirman: ’Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku.” [Q.S. Al A’raf 143]. Oleh sebab itu, termasuk unsur ketakwaan yang paling penting adalah keimanan seseorang terhadap perkara yang ghaib. Di mana dengan keimanan tersebut akan terbedakan antara muslim dan kafir. Allah telah menyebutkan di awal surat Al Baqarah, “Kitab(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya, sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada ghaib.” [Q.S. Al Baqarah:2-3]. Lalu bagaimana manusia beribadah kepada Allah, padahal Allah adalah dzat yang ghaib? Bagaimana manusia dapat mencintai Allah, Rabb mereka, sedangkan manusia belum pernah melihat Allah? Bukankah sebelum seseorang mencintai sesuatu ia mesti mengenalnya. Ini mungkin sekali akan muncul di benak seseorang, jika mereka tidak mengetahui cara untuk mengenal-Nya. Allah telah memberikan jalan keluar bagi manusia untuk mengenal diri-Nya dengan dua macam yaitu: Dengan mencermati dan memperhatikan alam yang ada di sekitar kita. Dengan memperhatikan alam, seseorang akan menemukan banyak keajaiban. Mulai dari proses terjadinya, sistem keteraturan alam, keindahannya, dan keajaiban-keajaiban lainnya yang akan didapatkan di sana. Dengan memerhatikannya secara teliti akan didapatkan kesimpulan bahwa pasti ada pencipta dan Pengaturnya, Dia lah Allah Ta’ala. Mengenai anjuran untuk memperhatikan alam dalam rangka mengimani penciptanya ini banyak disebutkan dalam Al Quran, diantaranya Allah berfirman, yang artinya: “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Allah Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci, lindungilah kami dari azab neraka.” [Q.S. Ali Imran:190-191]. juga sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah `, ”Fikirkanlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kalian berfikir tentang dzat Allah.”. [H.R. Abu Syaikh dari sahabat Abu Dzar dihasankan oleh syaikh Al albani dalam Ash Shahihah]. Ya, hal ini dikarenakan manusia tidak akan mampu memikirkan Dzat Allah yang ghaib, kecuali sebatas gambaran yang menipu pikiran manusia, tetapi manusia akan mampu berfikir tentang alam yang akan membawa kesimpulan betapa agung dan mulianya penciptanya. Dengan merenungi firman-firmanNya, yang menyebutkan tentang Allah, nama-nama-Nya yang mulia, dan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Dengan Al Quran seseorang bisa mengenal Allah, kebesaran-Nya serta keagungan-Nya. Akan tetapi hanya orang yang mau mentadaburinyalah yang bisa mengambil pelajaran. Allah berfirman, “Kitab (Al Quran) yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayat-Nya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” [Q.S. Shad:29]. Allahu a’lam. [Hammam]. Sebarkan :
read more

Kemuliaan Ilmu

Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, ”Cukuplah sebagai kemuliaan ilmu, orang yang bodoh pun mengaku-aku memilikinya. Ia juga senang disebut sebagai orang yang berilmu. Cukup pula sebagai celaan terhadap kebodohan, orang yang bodoh sekalipun menghindar dan berlepas diri darinya, ia juga akan marah apabila dikatakan sebagai orang yang bodoh.” [Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’]. Demikianlah adanya, ilmu memiliki kedudukan yang tinggi bahkan mutlak dibutuhkan dalam kehidupan. Dari sinilah, banyak orang yang rela mengorbankan harta, waktu, dan tenaga untuk mendapatkannya. Menuntut ilmu syar’i adalah ibadah yang paling mulia. Bagaimana tidak, ilmu adalah syarat keabsahan niat dan seluruh amalan baik lahir dan bathin. Yang menegaskan hal ini pula, Allah banyak menyebutkan keutamaan ilmu dalam Al Quran, demikian juga Rasulullah dalam hadits-hadits beliau. Tidaklah heran Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri v mengatakan, ”Tidak ada amalan yang lebih afdhal dari pada menuntut ilmu apabila benar niatannya.”. [Riwayat Abu Umar ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi]. Imam Ahmad v juga pernah mengatakan,” mempelajari ilmu dan mengajarkannya adalah amalan yang lebih afdhal daripada jihad dan ibadah-ibadah yang bersifat sunah lainnya.” [Hasyiyah Tsalatsatul Ushaul]. Wejangan yang semakna banyak sekali disampaikan oleh para ulama, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i. Bukti keutamaan ilmu adalah Allah menggandengkan kesaksian-Nya, para malaikat, dan orang-orang yang memiliki ilmu. Allah berfirman: “Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi melainkan Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. Ali Imran:18]. Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan keutaman ilmu dan kemuliaan ulama. Karena seandainya ada orang yang lebih mulia dari pada ulama, tentu Allah akan menggandengkan penyebutannya dengan nama-Nya dan para malaikat sebagaimana ulama [Al Jami’ li Ahkamil Quran]. Mungkin sebagian kita ada yang bertanya, bagaimana dengan para Nabi, Rasul, para shiddiqin (orang-orang yang jujur keimanannya), dan orang-orang shalih, kenapa mereka tidak disebutkan dalam ayat ini? jawabannya, mereka semua termasuk para ulama. Para Nabi dan Rasul adalah manusia yang paling berilmu terhadap Allah dan agama-Nya secara mutlak. Para shiddiqin, mereka tidak akan mampu mewujudkan kejujuran iman yang menancap kokoh dalam dada mereka kecuali setelah mengilmuinya. Demikian pula orang shalih. keshalihan itu ada setelah berilmu. Kemuliaan ilmu yang lain adalah Allah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, dalam salah satu ayat-Nya yang mulia: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” [Q.S. Al Mujadalah:11]. Imam Asy Syaukani v dalam Fathul Qadir menjelaskan bahwa makna ayat tersebut adalah Allah mengangkat derajat orang yang beriman, sebagaimana Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Namun keutamaan orang yang berilmu lebih tinggi dan mulia daripada orang yang beriman. Dan tatkala dua perkara ini bergabung dalam diri seseorang maka tercapailah derajat yang paling mulia. Nabi adalah manusia yang paling berilmu, pun demikian, Allah tetap perintahkan beliau ` untuk senantiasa memohon tambahan ilmu kepada-Nya. Bukan perkara dunia. Allah berfirman: “Dan katakanlah (wahai Nabi),’wahai Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu.’” [Q.S. Thaha:114]. Imam Ibnu Hajar v dalam Fathul Bari, menjelaskan bahwa ayat ini sangat jelas menunjukkan keutamaan ilmu. Karena Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya ` untuk meminta tambahan dari sesuatu kecuali ilmu. Ayat tentang keutamaan ilmu yang lain sangat banyak. Adapun keutamaan ilmu yang disebutkan dalam hadits Rasulullah ` di antaranya adalah hadits Abu Darda’ z, Rasulullah ` bersabda, “Tidaklah seseorang keluar untuk menuntut ilmu kecuali para malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka untuknya. Ia akan dimudahkan jalan ke surga. Sesungguhnya makhluk yang ada di langit dan bumi sampai ikan di lautan memintakan ampun untuk seorang yang berilmu. Keutamaan seorang yang berilmu atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas bintang-bintang yang lain. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sedangkan para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham (harta dunia), tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambil warisan tersebut sungguh telah mengambil bagian yang banyak.” [H.R. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadhlihi dan dishahihkan oleh Abul Asybal dalam Shahih Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadhlihi]. Dalam hadits yang mulia ini kita mengetahui sebagian keutamaan ilmu yang sangat banyak. Makhluk mulia yang tidak pernah bermaksiat dan selalu taat kepada Allah pun kagum terhadap penuntut ilmu. Sehingga mereka meletakkan sayapnya karena ridha, sebagaimana dijelaskan dalam sebagian riwayat hadits. Dimudahkannya jalan ke surga bagi penuntut ilmu, hal ini di samping merupakan keutamaan ilmu adalah anugerah yang sangat besar. Bagaimana tidak, kehidupan dunia yang sangat bising dan semrawut dengan syahwat dan syubhat atau kerancuan berpikir adalah godaan yang tidak mudah ditundukkan. Hanya orang yang Allah rahmati saja yang bisa selamat dari jeratannya. Oleh sebab itulah ketika Muadz bin Jabal z bertanya kepada Rasulullah ` tentang amalan yang bisa memasukan ke dalam surga, beliau ` menjawab, “Sungguh engkau telah bertanya tentang perkara yang besar.” [H.R. Ahmad, At Tirmidzi dan An Nasai, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib]. Ya, inilah kebaikan yang besar. Sangat besar bahkan. Taufik yang hanya Allah khususkan untuk hamba-hamba terpilih. Rasulullah ` bersabda, “Siapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, maka Allah akan karuniakan kepadanya pemahaman dalam agama.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Muawiyah bin Abi Sufyan z]. Keutamaan ilmu yang lain dari hadits Abu Darda’, bahwa makhluk-makhluk di bumi dan di langit akan memohonkan ampun untuk orang yang berilmu, sehingga rahmat dan kedamaian akan senantiasa menyertainya. Selalu didoakan oleh makhluk yang tidak pernah berdosa. Apalagi secara khusus Rasulullah ` menyebut majelis ilmu sebagai majelis penuh rahmat. Sebagaimana dalam sabda beliau `, “Tidaklah sekelompok orang berkumpul dalam salah satu rumah Allah, mereka membaca Al Quran dan mengkajinya kecuali akan turun ketenangan atas mereka, diliputi oleh rahmat, dikelilingi para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi-Nya.” [H.R. Muslim dari sahabat Abu Hurairah z]. Rasulullah ` menggambarkan ulama sebagai bulan purnama yang bersinar terang, memberikan cahayanya ke segala penjuru di kegelapan malam demikianlah, seorang yang berilmu senantiasa memberikan manfaat kepada sesama bahkan kepada alam sekitar. Ia menjadi orang yang penuh barakah, ini pun keutamaan yang besar. Kemudian pada penggalan hadits terakhir Rasulullah ` menegaskan bahwa para ulama adalah pewaris para Nabi. Mereka mewarisi ilmu kemudian menggantikan peran nabi dalam berdakwah. Inilah sebaik-baik jalan. Allah berfirman, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” [Q.S. Fushshiat:33]. Keutamaan ilmu sangat banyak. Bahkan Imam Ibnul Qayyim v dalam kitab beliau Miftah Darisa’adah menyebutkan lebih dari 150 keutamaan ilmu. Memang, keutamaan ilmu sangat banyak. Bahkan bukan hanya untuk manusia. Hewan pun akan dihargai karena ilmu. Allah berfirman, “Mereka menanyakan kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajari ilmu dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya’” [Q.S. Al Maidah:4]. Al Qurthubi dalam tafsir beliau menyebutkan penjelasan dari Adh Dhahak dan As Sudi bahwa maksud dari ‘binatang buas yang telah kamu ajari ilmu’ adalah anjing. Demikian pula pendapat ahli tafsir shahabat Abdullah bin Abbas x. Anjing yang air liurnya secara asal adalah najis, bahkan diperintahkan untuk mencuci bejana tujuh kali apabila terjilat, ketika sudah ada pengajaran ilmu berburu, maka anjing tersebut boleh dipelihara untuk tujuan berburu dan bekas gigitan pada buruannya tersebut tidak najis dan halal untuk dimakan. Hanya ilmu yang membedakan antara dua anjing ini. Demikian sedikit uraian tentang keutamaan ilmu syar’i, semoga bisa menggugah semangat kita untuk tetap terus belajar dan belajar. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua. Amiin. Allahu a’lam. [Farhan]. Sebarkan :
read more

Meniti Jalan Shahabat

“Tidaklah mendatangi kalian suatu masa kecuali masa yang setelahnya lebih jelek dari masa tersebut.” [H.R. Al-Bukhari, dari Anas bin Malik z].
Merupakan sunnatullah bahwasanya setiap datang suatu zaman, pasti zaman tersebut lebih jelek dari sebelumnya.
Mari bercermin pada zaman pertama, zaman Nabi Adam q. Pada zaman itu seluruh manusia menyembah Allah, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Lalu, saat sepuluh generasi berlalu, muncullah umat Nabi Nuh yang mempersekutukan Allah dengan menyembah orang shalih. Saat turun azab Allah kepada penduduk bumi hingga hanya tersisa Nabi Nuh beserta orang-orang yang bertauhid, bumi pun menjadi tenang. Kemudian muncullah kembali penyembah selain Allah yang lebih buruk daripada generasi yang terdahulu. Demikianlah seterusnya, hingga Allah pun mengutus kepada kita Nabi Muhammad, Nabi terakhir, Nabi kepada sekalian alam `. Beliau membawa cahaya penerang kepada masyarakat yang telah rusak moralitas dan agamanya dalam segala aspek. Beliau membawa cahaya yang telah disempurnakan oleh Dzat Yang berada di atas langit ketujuh.
Namun, layaknya kaum-kaum Nabi yang terdahulu, kaum beliau pun akan mengalami degradasi dan kemunduran beragama. Mereka semakin jauh dari koridor yang telah digariskan oleh Rasul mereka. Setiap bertambah zaman, semakin jauh dari syariat. Hingga berakhir pada rusaknya moral dan keagamaan seluruh bangsa mendekati hari kiamat kelak.
Pantaslah jika Rasulullah ` bersabda yang artinya, “Islam dimulai dalam keterasingan dan akan kembali terasing, maka beruntunglah orang yang terasing (karena berpegang teguh dengan sunah Nabi).” [H.R. Muslim dari Ibnu Umar c].
Jadi, umat terbaik di Islam ini adalah umat yang pertamanya. Mereka adalah para shahabat, lalu murid mereka, para tabi’in, kemudian disusul murid tabi’in, para tabi’ut tabi’in. Mereka adalah orang-orang yang telah disebutkan keutamaannya dalam lisan Rasul ` yang artinya, “Manusia yang terbaik adalah generasiku, lalu yang setelahnya, lalu yang setelahnya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah, dan Imran bin Hushain g].

Shahabat Nabi `, Para Penghulu Umat
Parashahabat adalah para mahasiswa yang menimba ilmu dalam madrasah kerasulan. Mereka tentu mendapat bagian yang besar dari ilmu syariat. Mereka mengambil langsung dari mata air yang jernih, bebas dari pikiran-pikiran tercemar yang datang setelah mereka. Mereka pun merasakan segarnya mata air wahyu yang paling utama, paling banyak, dan berkualitas.
Parashahabat adalah orang-orang yang paling mengerti tentang agama ini dibanding dengan yang setelah mereka. Mereka melihat bagaimana, kapan, dan di mana wahyu diturunkan. Mereka langsung bertanya kepada Nabi ` tatkala merasakan kesulitan dalam memahami wahyu. Tak hanya itu, mereka pun ditegur ketika salah memahami teks wahyu. Contoh konkretnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari shahabat Ibnu Mas’ud z, saat turun firman Allah (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman, bagi mereka rasa aman dan mereka orang yang diberi petunjuk.” [Q.S. Al-An’am:82]. Para shahabat memahaminya bahwa setiap keumuman orang yang menzalimi -termasuk yang menzalimi dirinya sendiri maupun menzalimi orang lain- tidak akan mendapatkan keutamaan ini. Mereka pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak menzalimi dirinya sendiri?” Rasulullah menegur mereka yang maknanya, “Maksudnya bukan seperti yang kalian sangka. Tidakkah kalian perhatikan ucapan Luqman (yang artinya), ‘Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang besar.’ [Q.S. Luqman:13]?” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Demikianlah, mereka senantiasa berada di dalam bimbingan yang benar dari Rasulullah `.
Oleh sebab itu, shahabat adalah para penjaga umat ini. Rasulullah ` pun telah menegaskan hal itu dalam sabda beliau:
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِى فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِى مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِى أَمَنَةٌ لأُمَّتِى فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِى أَتَى أُمَّتِى مَا يُوعَدُونَ
“Bintang-bintang adalah penjaga langit, jika bintang telah lenyap, niscaya datang apa yang dijanjikan kepadanya (yakni terpecahnya langit di hari kiamat). Aku adalah penjaga para shahabat, jika aku telah meninggal, niscaya akan datang apa yang telah dijanjikan kepada mereka (berupa gejolak peperangan, kemurtadan, dan lainnya), dan para shahabatku adalah penjaga umatku, jika telah wafat para shahabatku, niscaya datang apa yang telah dijanjikan kepada umatku (berupa pemikiran yang menyimpang dan akidah-akidah yang menyeleweng).” [H.R. Muslim].
Mereka adalah orang-orang pilihan. Allah memilih mereka dari semua makhluk untuk menemani Nabi-Nya. Mereka berperang di atas agama-Nya, menyampaikan ilmu yang mereka dapat dari Rasul `, membelanya, dan menjaga kemurniannya. Salah seorang ulama shahabat, Abdullah bin Mas’ud z mengatakan, “Sesungguhnya Allah melihat qalbu-qalbu hamba, maka Dia pun melihat qalbu Muhammad ` sebagai qalbu terbaik hamba, maka Dia pun memilihnya untuk diri-Nya lalu mengutusnya membawa risalah-Nya. Lalu Dia melihat hamba-hamba setelah qalbu Muhammad ` lalu Dia dapati qalbu-qalbu shahabatnya sebagai qalbu terbaik hamba-hamba, Dia pun menjadikannya pendukung Nabi-Nya. Mereka pun berperang atas nama agama-Nya. Maka, apa yang mereka anggap baik (secara sepakat, red.), hal itu pun baik di sisi Allah dan apa yang mereka anggap jelek, hal itu pun jelek di sisi Allah.” [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad].
Dari apa yang telah kami paparkan, jelaslah bahwa mengikuti pemahaman mereka adalah jalan keselamatan. Jalan mereka adalah jalan terbaik dari segala sisi. Cukuplah bagi kita wasiat Ibnu Umar c berikut ini, “Barangsiapa ingin mengikuti, hendaknya dia mengikuti yang telah mati karena yang masih hidup tidak aman untuk terjatuh ke dalam godaan (kesesatan, red.). Mereka (yang pantas diikuti itu, red.) adalah para shahabat Muhammad `. Mereka adalah yang terbaik dari umat ini. Mereka yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit memberta-beratkan diri dari umat ini. Mereka adalah kaum yang telah Allah pilih untuk menemani Nabi-Nya ` dan menyampaikan agama-Nya. Maka tirulah akhlak dan jalan mereka. Mereka, para shahabat Muhammad ` , berada di atas petunjuk yang lurus.” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya` dari Ibnu Umar c,, diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlih dari Ibnu Mas’ud z].
Lantas, bagaimana cara mengikuti mereka? Tentu kita tidak bisa langsung berguru kepada mereka karena mereka semua telah meninggal. Namun, pendapat, wasiat, fatwa, serta ucapan mereka telah termaktub dalam buku-buku, telah tergores dalam karya-karya monumental, dan telah dijelaskan oleh para ulama. Tinggal kita mengikuti jalan mereka dari para ulama yang mengikuti mereka.
Semoga Allah memudahkan kita untuk mengikuti Al-Quran dan sunnah dengan pemahaman para shahabat. Amin. Allahu a’lam bish shawab. (Abdurrahman)





Sebarkan
read more

Hikmah Penciptaan Manusia

Adalah akhlak yang baik jika seorang muslim meninggalkan sesuatu yang sia-sia. Karena, meninggalkan kesia-siaan merupakan tanda dari kebijaksanaan seseorang. Allah l
pun telah menyebutkan bahwa salah satu ciri kaum mukminin adalah berpaling dari sesuatu yang sia-sia. Allah berfirman dalam Surat Al-Mu`minun (yang artinya), “Telah beruntung orang-orang yang beriman.” [Q.S. Al-Mu`minun:1] dan menyebutkan salah satu ciri mereka, “Dan dari kesia-siaan mereka berpaling.” [Q.S. Mu`minun:3]. Inilah kesempurnaan seorang hamba. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang sia-sia.
Jika hal ini merupakan kesempurnaan bagi hamba, maka Rabbul ‘alamin yang telah menciptakan mereka lebih berhak menyandangnya. Allah l tidak akan melakukan sesuatu yang sia-sia. Segala apa yang Dia lakukan pastilah mengandung hikmah yang besar dan tujuan yang agung. Dan demikianlah yang akan kita dapatkan jika kita melihat dan berfikir terhadap alam semesta yang sungguh agung ini serta dibarengi banyak dzikir kepada Allah k. Kita akan melihat bahwa segala sinergisme alam semesta dalam keteraturannya merupakan tanda yang jelas bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Mampu, Maha Bijaksana, dan Maha Mengetahui. Saat kita melihat langit yang tanpa penyangga dan bumi yang terhampar, serta kita rasakan malam yang demikian tenangnya dan siang untuk kita beraktivitas, kita akan melihat betapa agungnya ciptaan ini.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit-langit dan bumi serta pergantian siang dan malam terdapat tanda bagi orang-orang yang pandai. Orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan berdiri, duduk, dan di atas lambungnya serta mereka ber-tafakkur terhadap penciptaan langit-langit dan bumi, (mereka mengatakan), ‘Wahai Rabb kami, Engkau tidak menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari api neraka.’” [Q.S. Ali ‘Imran:190-191].
Ya, tiada satu pun dari ciptaan Allah yang sia-sia tanpa hikmah. Pastilah, di dalam ciptaan Allah terkandung kebijaksanaan yang luas dan agung, baik disadari oleh manusia atau tidak. Begitu pula penciptaan manusia. Allah tidak menciptakan mereka semata-mata untuk bersenang-senang, makan, minum, tanpa ada tujuan yang jelas. Tidakkah kita telaah pengingkaran Allah di dalam suratAl-Qiyamah yang artinya, “Apakah manusia mengira mereka ditinggalkan begitu saja (tanpa tujuan dan arahan)?” [Q.S. Al-Qiyamah:36]. Di dalam ayat ini, Allah l bertanya kepada manusia dalam rangka mengingkari orang-orang yang berpikir demikian.
Demikian pula limpahan nikmat yang Allah curahkan kepada kita, bahkan manusia tidak akan bisa lepas dari rahmat-Nya walaupun sekejap. Ia lah Allah  semata yang mencipta, menghidupkan, mematikan, memberi rezeki, membimbing, mengatur, dan yang lainnya. Fasilitas lengkap di sekitar kita yang telah Allah persiapkan untuk kesinambungan dan kelancaran hidup semua tentu untuk sebuah hikmah.
Lalu, apakah hikmah Allah menciptakan manusia? Allah telah menuangkannya di dalam Kalam-Nya:

. Inilah hikmah penciptaan manusia, untuk beribadah kepada Allah l. Dalam ayat lain, Allah menyebutkan hikmah ini setelah penyebutan sebagian nikmat-Nya. Yang berarti, nikmat-nikmat itu memiliki konsekuensi, yakni mengibadahi-Nya. Allah l berfirman yang artinya, Wahai sekalian manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untuk kalian, karena itu janganlah kalian Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah Padahal kalian mengetahui.” [Q.S. Al Baqarah:21,22].
Lantas, apakah ibadah itu? Ibadah bukan hanya terbatas pada shalat, puasa, dan haji. Ibadah, sebagaimana didefinisikan oleh Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Abdul Halim Al-Harrani v, “Ibadah adalah
sebuah kata yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai Allah, mulai dari ucapan hingga perbuatan, baik yang lahiriah ataupun batiniah.” Inilah definisi ibadah. Jadi, memuliakan tamu merupakan ibadah, menolong tetangga adalah ibadah, mengucapkan ucapan yang baik pun merupakan ibadah karena Allah mmencintai itu semua, sebagaimana telah Rasul-Nya sampaikan dalam banyak hadits. Namun, tentu saja semua ini harus didasari niat ibadah kepada Allah, bukan untuk niatan dunia.
Inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia. Maka, sebagai seorang muslim sejati, hendaknya kita jadikan tujuan ini sebagai tujuan utama hidup kita, bukan sebagai tugas sampingan yang hanya dilakukan sekedar sebagai pengesah saja. Sebaliknya, kita jadikan yang selain ini sebagai pelengkap dan penyempurna ibadah kita kepada Allah. Karena, inilah kelak yang akan menjadi penentu hidup kita yang kekal, hidup di akhirat kelak, hidup yang tak berarti lagi harta dan keturunan, kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang disinari cahaya keimanan dan amalan. Allahu a’lam bish shawab. (Abdurrahman)

Sebarkan :
read more

Sabtu, 28 Juli 2012

Islam Telah Sempurna

Tubuh seorang manusia dikatakan sempurna jika telah tepat sesuai dengan kebutuhannya. Dengan sepasang tangan, sepasang kaki, kepala beserta seluruh anggota badan yang lengkap, manusia akan merasakan kenyamanan tubuh dan nikmatnya tubuh tersebut. Coba kita bayangkan, apabila kita terlahir dengan satu tangan, satu kaki, atau dengan mata yang buta, tentu hal tersebut akan menyedihkan dan mengganggu kehidupan kita. Kita merasakan kehidupan yang kurang normal. Demikian pula tatkala seseorang ditakdirkan memiliki tangan tambahan, kaki tambahan, atau anggota tubuh tambahan yang lain, tentu dikatakan kepadanya bahwa ia tidak normal. Jadi, kurang dari kebutuhan dikatakan kurang sempurna, sebagaimana  kelebihan juga dikatakan tidak sempurna.
Allah telah memberikan nikmat yang begitu banyak kepada hamba-Nya, terlebih kepada kita kaum muslimin pengikut Rasulullah. Termasuk nikmat yang Allah karuniakan khusus bagi kaum muslimin tetapi tidak diberikan kepada umat selainnya, adalah dengan sempurnanya agama Islam ini, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan bagi kalian nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” [Q.S. Al MaidaH:3].
Dalam ayat ini Allah mengkabarkan bahwa agama Islam telah Allah sempurnakan bagi kita. Dan nikmat yang tidak diberikan kepada selain umat islam. Kesempurnaan islam meliputi segala sesuatu baik dari segi akidah, akhlak, muamalah, ibadah dan lain sebagainya. Sehingga semua perkara yang baik bagi manusia di dunia dan akhirat telah dijelaskan. Demikian pula setiap perkara yang jelek bagi manusia di dunia dan akhirat pasti telah disebutkan larangannya. Bukan hanya landasan dan pokok dalam agama saja yang telah Allah sempurnakan. Tetapi kesempurnaan ini mencakup seluruh aspek kehidupan. Bahkan dalam perkara buang air besar yang sebagian orang kurang mempehatikannya. simaklah apa yang disampaikan oleh seorang shahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari z yang mengatakan,Rasulullah ` telah meninggalkan kita, dan tidaklah ada satu burung pun yang mengepakkan sayapnya, kecuali beliau telah menyebutkan ilmu tentangnya. kemudian beliau berkata, Rasulullah telah bersabda, ‘tidaklah ada yang tersisa dari sesuatu yang mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari neraka kecuali (semua) telah dijelaskan kepada kalian.” [H.R. Thabarani dengan sanad yang shahih].
Sudah sepatutnyalah kita bersyukur kepada Allah dengan pemberian nikmat ini, suatu pemberian yang membuat iri orang kafir, sebagaimana hal tersebut telah disampaikan oleh Thariq bin Syihab z, “seorang yahudi berkata kepada Umar bin Khatab z,, sesungguhnya kalian (kaum muslimin) membaca suatu ayat yang apabila ayat tersebut diturunkan kepada kami, pasti kami akan menjadikan hari tersebut sebagai hari raya. Maka Umar bertanya, “ayat apakah itu?”, mereka menjawab, ”“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan bagi kalian nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim]. Tentu saja syukur ini kita wujudkan dengan cara mengamalkan syariat yang sempurna ini. Dengan perbuatan, perkataan dan hati. Bukan sekedar ucapan syukur yang hanya manis dibibir saja.
Merupakan perkara yang tidak kita pungkiri, bahwa kaum muslimin banyak melakukan perkara yang tidak disyariatkan dan diajarkan oleh Rasulullah ` ,seakan-akan agama Allah masih membutuhkan banyak tambahan. Lalu kesempurnaan apalagi yang masih perlu ditambahkan setelah Allah tetapkan kesempurnaan agama ini?
Ibarat satu tubuh yang sempurna tentu tidak akan bertambah sempurna ketika ditambahkan anggota tubuh yang lain. Justru, tubuh itu akan menjadi cacat dan hilang kesempurnaannya. Demikian pula agama yang telah sempurna ini, tentu tidak perlu tambahan syariat baru yang justru akan mencacatnya.
Oleh sebab itulah Imam Malik v berkata setelah menyebutkan ayat di atas, “Segala sesuatu yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini pun bukan merupakan agama.”.
  Sehingga sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah dengan cara mengamalkan kewajiban kita, menjauhi apa yang haram bagi kita, dan bukan dengan melakukan ibadah yang tidak dituntunkan. Allahu a’lam. [Hammam].

Sebarkan :
read more

Amalan yang Terus Mengalir

“Apabila anak Adam meninggal, terputuslah amalannya kecuali dari tiga (jalan): shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” [H.R. Muslim].
Hadits ini diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah z. Nama beliau menurut pendapat yang paling kuat adalah Abdurrahman  bin Shakhr Ad Dausi.  Beliau masuk islam tahun ke 7 hijriah. Jadi, beliau menimba ilmu dari Rasulullah ` kurang lebih selama 3 tahun. Meskipun demikian beliau adalah shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah `. Ini menunjukkan semangat dan perjuangan yang luar biasa dari beliau dalam belajar. Dalam sejarah beliau ini terdapat pelajaran bagi kita bahwa tidak ada kata terlambat dalam belajar. Ketika seorang bersungguh-sungguh, berusaha keras, bersabar, dan senantiasa berdoa serta tawakal kepada Allah, pasti Allah akan memudahkan usahanya. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” [Q.S. Al Ankabut:69].
Hadits ini menunjukkan besarnya kasih sayang dan empati Rasulullah ` kepada umat beliau. Di mana beliau mengajarkan kepada umat ladang pahala yang senantiasa mengalir walaupun setelah mati. Seorang yang cerdas tentu akan benar-benar memegangi wejangan beliau ini. Ketika ia sadar bahwa umur begitu pendek dan  waktu begitu singkat, sedangkan ibadah yang ia kerjakan sangatlah sedikit. Maka, ia harus mewujudkan wejangan ini agar mampu meraih pahala yang sebanyak-banyaknya.
Dalam hadits ini terdapat palajaran disyariatkannya mengingat mati. Bahkan dalam banyak hadits  beliau `, memerintahkan untuk sering-sering mengingatnya, kemudian mempersiapkan bekal untuk menyambutnya. Demikianlah mukmin yang cerdas. Pernah Rasulullah ` ditanya siapakah mukmin yang paling cerdas? Beliau ` bersabda, “Yang paling banyak mengingat mati kemudian paling bagus persiapan dalam menyambutnya, merekalah mukmin yang cerdas.” [H.R. Ibnu Majah dari shahabat Abdullah bin Umar x dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahih At-Targhib].
Shadaqah jariyah adalah menyalurkan harta pada kepentingan umum yang kemanfaatannya tidak terputus. Seperti wakaf tanah atau shadaqah uang untuk pembangunan masjid, sumur, madrasah, rumah sakit dan lain-lain. Selama sarana ini dimanfaatkan, maka pahalanya akan mengalir. Inilah sesungguhnya harta yang dinikmati secara hakiki oleh pemiliknya. Bukan harta yang ia makan, untuk belanja pakaian, membeli rumah megah atau kendaraan mewah dan perhiasan. Pernah para shahabat menyembelih kambing untuk Rasulullah `,, beliau pun membagi-bagikan kepada tetangga. Beliau bertanya kepada Aisyah, “Apa yang tersisa?”. Aisyah menjawab, “Tidak tersisa kecuali satu paha depan.”. Beliau ` bersabda, “Justru semua sisa kecuali paha tersebut.” [H.R. At Tirmidzi dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah]. Karena yang dishadaqahkan itulah yang akan dinikmati di akhirat kelak, menjadi pahala yang kekal abadi.
Hadits ini termasuk dalil yang sangat jelas menunjukkan kemuliaan dan keutamaan ilmu. Hadits ini menunjukkan pula besarnya buah dari ilmu. Pahala yang senantiasa bisa dituai walaupun telah terkubur dalam tanah, selama ilmu tersebut bermanfaat. Seolah-olah ia tetap hidup dan terus beramal, bersamaan dengan tetap hidupnya penyebutan dan pujian orang lain terhadapnya. Pahala ilmu hasil pengajaranya yang diamalkan atau diajarkan oleh orang lain, akan ia dapatkan sebagaimana pahala yang didapat oleh orang yang mengamalkan. Karena ia sebagai sabab terjadinya amalan tersebut.
Dalam hadits Abdullah bin Masud z, Rasulullah ` bersabda, “Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala sebagaimana orang yang mengamalkan.” [H.R. Muslim]. Semakin banyak orang yang mengamalkan atau mengajarkan pengajarannya, semakin banyak pahala yang mengalir kepadanya. Begitu seterusnya  sampai hari kiamat. Subhanallah…
Hadits ini juga mengajarkan kepada kita untuk memohon dan mengusahakan anak yang shalih. Yaitu anak yang berbakti kepada orang tua ketika hidup dan setelah matinya. Semasa hidup dengan berbuat baik, setelah mati dengan mendoakannya. Sehingga hadits inipun mengajarkan kepada kita untuk memperbanyak keturunan yang shalih dan shalihah.
Sekali lagi, seorang mukmin yang cerdas, ia akan selalu mengambil bekal dengan sebaik-baiknya, ia tidak akan melewatkan poin-poin yang mendatangkan pahala berlipat ini. Apalagi Allah juga menegaskan dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” [Q.S. Yasin:12]. Allahu a’lam. [Farhan].

Sebarkan :
read more

Mengenal Rasulullah Shalallaahu alaihi wa salam

Dalam bahasa arab Rasul artinya adalah utusan. Sebagai utusan, pastilah seorang Rasul dipercaya oleh pengutusnya untuk menyampaikan berita penting. Oleh sebab itulah Allah menyebut malaikat Jibril sebagai Rasul. Sebagaimana dalam firman-Nya:
“ Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril).” [Q.S. At Takwir:19].
Ketika utusan tersebut adalah utusan Allah Ta’ala untuk menyampaikan berita kepada segenap manusia, tentulah ia seorang yang terbaik dan terpilih. Bagaimana tidak, Allah sebagai pencipta manusia tentu paling mengetahui siapakah manusia terbaik dalam mengemban tugas-Nya ini. Utusan itulah yang menyampaikan segala sesuatu dari Allah, berupa perintah dan larangan-Nya, kabar dan berita yang ghaib serta yang lainnya.
Para Rasul merupakan orang yang terbaik pada suatu umat, sebagaimana hal ini telah dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud z, salah seorang shahabat yang mulia,”sesungguhnya Allah Ta’ala melihat qalbu-qalbu hamba, maka Allah melihat qalbu Muhammad merupakan qalbu yang terbaik dari hamba- hamba-Nya, Maka Allah memilih beliau  untuk diri-Nya, lalu Allah  mengutus beliau dengan risalah-Nya.” 
Apabila seseorang bersaksi dengan dua kalimat syahadat maka secara hukum Islam, ia telah sah menjadi seorang muslim. Namun yang perlu diingat, bahwa persaksian itu membutuhkan ilmu. Sebagai permisalan dalam suatu persidangan seseorang bersaksi bahwa si fulan telah mencuri. Seandainya ia ditanya seperti apa fulan tersebut, dan ternyata ia tidak tahu, namun sekedar menduga bahwa orang yang dilihatnya adalah fulan, maka batallah persaksiannya. Persaksiannya ini tidak berdasarkan ilmu tetapi sekedar prasangka yang lemah yang tidak teranggap. Demikian pula, seseorang yang bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, ternyata ia tidak mengilmui tentang Nabi Muhammad `, maka ia bersaksi dengan sesuatu yang tidak ia ketahui. Sungguh, sangatlah mengkhawatirkan agama orang yang semacam ini.
Masih ingatkah pembaca tentang tiga pertanyaan yang akan dipertanyakan kepada penghuni kubur. Tiga pertanyaan itu adalah siapakah Rabbmu, siapa nabimu dan apa agamamu. Sesungguhnya masing-masing manusia akan menjawab sesuai dengan kadar keilmuan dan keimanannya. Adapun orang yang celaka maka ia akan menjawab, “Hah…hah…aku tidak tahu, aku mendengar manusia mengatakannya maka akupun mengatakannya.”
Maka sebelum maut menjemput, pemutus seluruh kesempatan untuk beramal shalih, hendaknya kita mengetahui siapakah Nabi kita.
Seseorang akan dapat mengenal Rasulullah Muhammad ` dengan beberapa cara:
1. Dengan ayat kauniyah.
Ayat kauniyah di sini adalah mukjizat beliau yang bisa langsung disaksikan oleh mata. Mukjizat adalah keluar kebiasaan yang Allah berikan khusus bagi para Nabi utusan Allah. Mukjizat Rasulullah ` sangat banyak. Salah satunya adalah terbelahnya bulan. Suatu ketika orang-orang musyrik Quraisy ingin untuk melihat tanda kenabian beliau yang membuat mereka percaya pada kerasulan beliau `. Maka, berdoalah Rasulullah `. Dengan izin Allah terbelahlah bulan. Abdullah bin Mas’ud z mengisahkan bahwa, “Bulan terbelah pada zaman Rasulullah, maka orang Quraisy mengatakan, ‘Ini adalah kejelekan Ibnu Abi Kabsyah.’” Mereka memaksudkan Rasulullah `, mereka meragukan kejadian ini. Apakah benar-benar terjadi atau sekedar sihir. Maka, untuk memastikannya mereka bertanya kepada orang-orang yang datang dari bepergian jauh, apakah mereka juga melihat kejadian itu? Abdullah bin Mas’ud mengatakan, mereka orang-orang Quraisy berkata, “Lihatlah berita yang dibawa oleh orang–orang yang safar (bepergian), karena Muhammad tidak akan mungkin dapat menyihir seluruh manusia.” Dan ternyata orang-orang yang datang dari safar tersebut mereka menyaksikan kejadian bulan terbelah tersebut. Selengkapnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari.
2. Dengan ayat Syar’iyah.
Ayat syar’iyah yang dimaksud adalah Al Qur’an. Al Quran merupakan mukjizat terbesar yang menunjukkan bahwa beliau adalah Rasulullah. Kita tidak mungkin lagi untuk mengetahui mukjizat yang dapat langsung disaksikan karena telah lewat masa kenabian Rasulullah. Namun kita masih bisa mengenal kenabian beliau dengan mukjizat terbesar ini. AlQuran yang merupakan firman Allah. Sungguh Al Quran berisi ilmu terdahulu dan yang akan datang. Al Quran adalah obat bagi hati yang telah mati. Kita dapat mengenal kebenaran kerasulan beliau dengan apa yang beliau bawa.
3. Dengan akal yang sehat.
Dengan akal sehat kita mengetahui bahwa seseorang yang mengaku Rasul antara dua keadaaan:
yang pertama : ia adalah sebaik-baik manusia dan yang paling jujur ucapannya.
yang kedua     : ia adalah manusia paling pendusta.
lalu dimanakah beliau ` dari dua keadaan ini? cukuplah kesaksian dari kaum beliau yang menilainya. Sebelum beliau diutus sebagai Rasul, kaum beliau mengelari beliau Al Amin (yang terpercaya). Hanya orang yang sombong, yang tidak mau tunduk terhadap kebenaran sajalah yang menolak dan memerangi dakwah beliau.
Demikianlah beberapa cara mengenal Rasulullah `, tentu saja tatkala kita mengenal kerasulan beliau dan mengimaninya kita dituntut untuk mentaati beliau, sebab ketaatan adalah konsekuensi dari keimanan terhadap kerasulan beliau `. Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba Nya yang taat. Wa billahi taufik. [hammam].


Sebarkan :
read more