Minggu, 29 Juli 2012

Memaknai Kesempurnaan Islam

Buletin Tashfiyah Stay Connected » Memaknai Kesempurnaan Islam November 22, 2010 | Filed under: Aqidah,Artikel | Posted by: webmaster Sebarkan : Oleh Abû Muhammad Farhan Allah ta’âlâ telah mengaruniai umat Islam ini sebuah nikmat yang besar. Nikmat kesempurnaan agama Islam. Tidaklah Allah mewafatkan Nabi-Nya r kecuali setelah Allah menyempurnakan agama ini serta meridhainya bagi beliau dan umat beliau. Allah sub?ânahu wa ta’âlâ menurunkan sebuah ayat sebulan sebelum wafat Rasulullah r, dalam peristiwa haji Wadâ’, bertepatan pada hari Arafah, yang artinya, “Pada hari ini telah Kulengkapi untuk kalian agama kalian, dan telah Kusempurnakan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” [QS Al-Mâ`idah:3] Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat ini, “Allah memberi tahu Nabi-Nya dan kaum mukminin bahwa Allah sub?ânahu wa ta’âlâ telah melengkapi keimanan untuk mereka, sehingga tidak membutuhkan penambahan selamanya, dan Allah telah menyempurnakannya sehingga tidak akan menguranginya selamanya. Allah telah meridhai keimanan tersebut, maka tidak akan murka selama-lamanya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr Ath-Thabari dalam kitab tafsir beliau] Ibnu Katsir berkata dalam tafsir beliau, “Ini adalah nikmat Allah yang paling besar atas umat ini. Allah telah menyempurnakan untuk umat ini agama mereka, maka mereka tidak membutuhkan agama selain agama mereka, mereka juga tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka r. Oleh sebab itu, Allah menjadikan Nabi mereka sebagai penutup para nabi, Allah pun mengutus beliau untuk seluruh manusia dan jin. Maka, tidak ada perkara yang halal kecuali apa yang telah beliau halalkan dan tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang telah beliau haramkan. Demikian pula tidak ada agama kecuali apa yang telah beliau syariatkan.” Shahabat Abû Dzarr radhiyallâhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam wafat dan tidaklah burung membolak-balikkan kedua sayapnya di langit kecuali beliau telah menyebutkan ilmu darinya.” Artinya, perkara sekecil apapun telah diterangkan dalam syariat yang suci ini. Setelah itu, Abû Dzarr menyebutkan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian.” [H.R. Ath-Thabarani]. Hal senada diungkapkan pula oleh seorang shahabat Salmân Al-Fârisi saat seseorang berkata kepadanya, “Nabimu mengajarkan seluruh perkara hingga dalam buang hajat.” Beliau pun menjawab, “Benar, beliau melarang kami buang air besar ataupun buang air kecil dengan menghadap kiblat, demikian pula cebok dengan tangan kanan, dan cebok dengan kurang dari tiga batu, dengan menggunakan kotoran binatang, atau dengan tulang.” [H.R. Muslim dan selainnya]. Maknanya, jika dalam perkara yang dianggap sepele seperti ini saja telah dijelaskan secara gamblang, lebih-lebih dalam perkara yang lebih besar dari ini, berupa perkara ibadah dan lain sebagainya yang merupakan tata cara seorang hamba berinteraksi dan bermuamalah dengan Sang Penciptanya. Demikianlah pembaca yang budiman. Bersamaan dengan ini, ada satu hal yang perlu digarisbawahi. Kesempurnaan agama ini mempunyai konsekuensi logis yang tak mungkin lepas darinya. Yakni, kita harus beragama Islam ini dengan tanpa menambahinya ataupun menguranginya. Berhenti pada apa yang digariskan oleh syariat, dan tidak melampaui batasannya. Inilah makna penting dari kesempurnaan syariat kita. Hal ini juga dikemukakan oleh seorang ulama salaf, Mâlik bin Anas ra?imahullah, salah seorang imam madzhab yang empat, ulama yang digelari “Imâm Dâril Hijrah” (Ulama Negeri Hijrah, yakni Madinah) beliau menuturkan ketika menafsirkan ayat di atas (Al-Mâ`idah ayat 3) “Barang siapa mengadakan perkara baru dalam agama Islam yang dia anggap baik, maka dia telah menuduh bahwa Muhammad (shallallâhu ‘alaihi wa sallam) mengkhianati kerasulannya karena Allah telah berfirman [yang artinya], “Pada hari ini telah Kulengkapi untuk kalian agama kalian, dan telah Kusempurnakan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” [Q.S. Al-Mâ`idah:3] Maka perkara apapun yang hari itu bukan termasuk agama, hari ini pula bukan termasuk agama.” [Disebutkan oleh Asy-Syâthibi dalam kitab beliau “Al-I’tishâm”]. Dengarlah juga makna kesempurnaan Islam ini dari sabda Rasulullah r. Shahabat Al-‘Irbâdh bin Sâriyah t menuturkan bahwasanya Rasulullah r pernah berkhutbah dengan khutbah yang sangat menyentuh hingga mata para shahabat menangis dan hati mereka bergetar. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalamnya (yang artinya), “Aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya kecuali dia pasti binasa.” Rasulullah r telah bersabda pula (yang artinya), “Kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat setelahnya: Kitabullah dan sunnahku.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-?âkim di dalam kitab Al-Mustadrak dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Shahihul Jâmi’. Dan satu hal lagi yang perlu kita pahami bahwasanya yang dimaksud dengan kata “sunnahku” di sini ialah ajaran beliau, baik yang hukumnya mustahab maupun fardhu. Sebab, inilah yang dimaukan dengan kata “sunnah” oleh umat Islam yang terdahulu. Sedangkan kata sunnah yang berarti suatu perbuatan yang jika dilakukan mendapatkan pahala dan apabila tidak dilakukan tidak mendapat dosa, itu adalah makna istilah “sunnah” yang dipakai oleh para fuqaha pada zaman akhir-akhir ini. Kisah lain yang menyiratkan akan wajibnya berhenti pada apa yang telah beliau gariskan adalah kisah pengingkaran Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam saat beberapa orang shahabat bertanya tentang ibadah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam di waktu sendirian. Setelah mereka mendengar ibadah Nabi, mereka pun mengatakan, “Siapa kita dibandingkan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam? Padahal, beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Maka, salah seorang di antara mereka memutuskan bahwa dia akan shalat malam tiap hari, yang lain mengatakan bahwa dia akan puasa selamanya, yang lain lagi mengatakan bahwa dia akan menjauhi wanita dan tidak akan menikahinya. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan semua ini. Maka, saat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam“Adapun aku, -demi Allah- adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah. Akan tetapi, aku puasa dan terkadang tidak puasa, aku shalat dan aku juga tidur, aku pun juga menikahi wanita. Maka barang siapa benci dari sunnahku, dia bukanlah termasuk golonganku.” mendengar pernyataan mereka ini, Nabi pun mengatakan (yang artinya), Walhasil, tidak boleh bagi seorang muslim untuk menambahi perkara yang baru dalam agama Allah ini. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk beribadah kepada Allah kecuali dengan jalan yang telah Allah dan Rasul-Nya syariatkan. Bahkan, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk tunduk kepada perintah Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti Al-Qur`ân dan As-Sunah, demikian pula tidak boleh membuat-buat sesuatu yang tidak diizinkan Allah dan tidak pula disyariatkan oleh Rasul-Nya dalam agama ini, kendati pun kaum muslimin menganggap hal itu sebagai hal yang baik. Ini semua karena agama Islam ini telah sempurna dan semua yang di luar dari agama ini adalah bid’ah dan sesat. Wallahu a’lam. Rujukan:Mauqif Ahlis Sunah Ilmu Ushul Bida’ Tafsir Ibnu Katsir Kata Mutiara ‘Abdurrahmân bin ‘Amr Al-Auza’i mengatakan, “Wajib bagi kalian untuk mengambil jejak-jejak salaf[1], walau orang-orang menolak kalian. Hati-hati kalian dari pemikiran-pemikiran manusia, meski mereka menghias-hiasi ucapan mereka.” Imam Mâlik bin Anas mengatakan, “Tidak akan baik perkara umat ini melainkan dengan sesuatu yang memperbaiki umat yang pertamanya.” [1]Kata “salaf” yang dimaukan secara istilah adalah para shahabat Nabi r, dan yang mengikuti mereka dengan baik. [Usus Manhaj Salaf Fid Da’wati Ilallâh]. Sebarkan tulisan ini : Sebarkan :

0 komentar:

Posting Komentar